7/18/2011

“Virus Pink Menjegal Aktivis Dakwah”


Oleh : Firdaus bin Musa

Menulis bagiku semacam  anak kecil yang malaz sekolah karena ia menganggap mendingan lebih asyik bermain, akan tetapi terkadang aku begitu berhasrat untuk menulis, jika ada ide yang aku anggap menantang idealismeku, diantara yang menantang itu adalah “Virus Pink Menjegal Aktivis Dakwah” aku akan mencoba merangkai kata menjadi susunan kalimat yang berkenaan dengan virus pink dengan harapan membawa manfaat buat saya dan yang akan membaca.

 Pacaran, aku tak tahu siapa yang memulai membuat sebuah istilah pacaran ini, namun yang jelas kata2 ini begitu akrab ditelinga remaja islam sekarang, bahkan anak-anak kecilpun sudah pandai melafazkannya, hal ini tak terlepas dari tontonan yang memberikan tuntunan tak terkecuali pengemban dakwah juga telah terjerat dengan istilah dan praktek ini. Jika didengar  dari cerita-cerita yang menjalani  aktivitas pacaran ini, maka pacaran tak terlepas dari kata2 gombal (kalaupun tak boleh disebut kata2 dusta), sentuhan fisik  (pegang-pegangan, ciuman, sampai pada free sex) Ditambah lagi kaum kapitalisme begitu gencar menyuarakan bahwa kondom mampu mencegah virus HIV dan AIDS, para artispun tidak kalah ketinggalan dalam mensosialisasikan program ini dengan cara membagi-bagikan secara gratis pada sopir truk, dan ada juga dengan menyelipkannya pada kaset lagunya, yang menurut katanya dalam rangka pencegahan virus aids dan hiv, jika dibiarkan jalan menuju free sex ini  tentu akan menambah data dari kerusakan moral yang dibuat remaja zaman sekarang, hal ini berawal dari yang namanya pacaran.
Pacaran bagi aktivis dakwah sudah berganti nama dengan sebutan virus pink, memakai kata-kata virus berarti masih ada kesan tidak suka pada yang namanya pacaran, tapi anehnya kata-kata ini dibenci, namun prakteknya kadang-kadang  jalan juga,  kita khawatir esok nantinya akan berlanjut pada yang lebih parahnya bagaikan sebuah judul buku “zina dicaci tapi dicari” ya judul buku yang menggelitik, disaat orasi dan diskusi porno dan grafi begitu kita caci, namun dibelakang itu wallau ‘alam.
Terkadang kita tertipu dengan menyamakan istilah pacaran dengan ta ‘aruf, padahal ta ‘aruf adalah perkenalan dalam rangka membuktikan keseriusan untuk mekhitbah (melamar), berbeda dengan pacaran hanya untuk melampiaskan hawa nafsy syahwat  atau memperturutkan pubertas yang sebenarnya bisa dikendalikan. Padahal sudah jelas, bahwa rasa cinta, suka pada lawan jenis adalah gharizatul baqa’  hal yang sudah ada tiap manusia, sebagai muslim dalam penyalurannya musti terikat dengan aturan islam, jika dilanggar cara penyalurannya maka akibatnya kesengsaraan didunia dan siksa diakhirat, misal melakukan aktivitas zina maka didunia akan dikucilkan masyrakat,  terkena penyakit,  dan tidak jelas status anak dan masih banyak dampak lain.
Padahal islam mengatur  cara penyalurannya yakni dengan menikah, jika belum sanggup maka hendaklah perbanyak puasa sunnat, atau melakukan aktivitas bermanfaat, kesukaan pada lawan jenis tidak musti dilakukan dengan cara haram
Jika kita baca dalam al-qur’an maka akan didapati firman allah swt, bahwa pacaran bagian jalan shetan yang  mendekati  pada zina, maka itu adalah seburuk-buruk jalan yang hendaknya kita tinggalkan, jika kita masih bersikukuh untuk menjalaninya, maka tunggu saja akibat dari pembangkaan kita pada firman allah swt tersebut, diantaranya penyakit kelamin, harga diri jatuh (tak dihargai lagi), diakhirat akan mendapatkan siksa. Mari kita renungkan dalil  dan penjelsan berikut :

1. LARANGAN DUDUK DI PINGGIR JALAN

Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Sesungguhnya ALLAH telah menentukan kadar nasib setiap manusia untuk berzina yang pasti akan dikerjakan olehnya dan tidak dapat dihindari. Zina kedua mata adalah memandang, zina lisan (lidah) adalah mengucapkan, sedangkan jiwa berharap dan berkeinginan, serta kemaluanlah (alat kelamin) yang akan membenarkan atau mendustakan hal itu. [Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ahmad]

•Hadis ini menerangkan bahwa mata yg memandang kepada seseorang yg bukan muhrim dimana pandangan itu diiringi nafsu syahwat atau tidak sesuai tuntunan agama, maka pandangan itu termasuk zina
•Dari Jarir, ia berkata: Saya menanyakan tentang melihat sesuatu yang diharamkan yang datang dengan tiba-tiba kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda: “Pejamkanlah matamu”. [Muslim]
Artinya manakala kita melihat perkara yang diharamkan oleh ALLAH subhanahu wa ta’ala, maka hendaklah kita memejamkan mata.
• Dari Ummi Salamah, ia berkata: Ketika saya bersama Maimunah berada di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Ibnu Ummi Maktum masuk. Kejadian itu sesudah turunnya ayat yang memerintahkan kami untuk berhijab. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berhijablah kamu daripadanya”. Kami berkata: Wahai Rasulullah, bukankah ia seorang yang buta tidak melihat dan tidak mengetahui kami? Nabi SAW bersabda: “Apakah kamu juga buta? Tidak kah kamu melihat orang itu?” [Abu Dawud dan Tirmizi, hadis dengan isnad hasan shahih]

2. LARANGAN BERSALAMAN , BERSENTUHAN BUKAN MUHRIM

• Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Sesungguhnya ALLAH telah menentukan kadar nasib setiap manusia untuk berzina yang pasti akan dikerjakan olehnya dan tidak dapat dihindari. Zina kedua mata adalah memandang, zina lisan (lidah) adalah mengucapkan, sedangkan jiwa berharap dan berkeinginan, serta kemaluanlah (alat kelamin) yang akan membenarkan atau mendustakan hal itu. [Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ahmad]
• Hadis ini menerangkan bahwa mata yg memandang kepada seseorang yg bukan muhrim dimana pandangan itu diiringi nafsu syahwat atau tidak sesuai tuntunan agama, maka pandangan itu termasuk zina
 • Dari Jarir, ia berkata: Saya menanyakan tentang melihat sesuatu yang diharamkan yang datang dengan tiba-tiba kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda: “Pejamkanlah matamu”. [Muslim] Artinya manakala kita melihat perkara yang diharamkan oleh ALLAH subhanahu wa ta’ala, maka hendaklah kita memejamkan mata.
• Dari Ummi Salamah, ia berkata: Ketika saya bersama Maimunah berada di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Ibnu Ummi Maktum masuk. Kejadian itu sesudah turunnya ayat yang memerintahkan kami untuk berhijab. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berhijablah kamu daripadanya”. Kami berkata: Wahai Rasulullah, bukankah ia seorang yang buta tidak melihat dan tidak mengetahui kami? Nabi SAW bersabda: “Apakah kamu juga buta? Tidak kah kamu melihat orang itu?” [Abu Dawud dan Tirmizi, hadis dengan isnad hasan shahih]


0 komentar: