8/15/2011

Renungan Hidup

 
Assalamu’alaikum wb

Bagi seorang muslim merenungi setiap detik waktu yang telah ia tinggalkan adalah bagian dari cara ia munumbuhkan kesadaran bahwa kehidupan ini ada masa akhirnya, kematian yang tidak tahu kapan dan dimana kita saat itu, sedang mengapa kita saat itu, itulah ia kematian.
Jika kematian adalah awal menuju hidup yang abadi, jika kematian adalah masa diminta pertanggung jawaban, maka dari sekarang kita senantiasa menyiapkan perbekalan untuk menemui kematian tersebut

Saat tulisan ini dibuat, dua hari lagi, tahun Hijrah segera berganti, dari tahun 1431 H ke 1432 H. Lima belas hari lagi, tahun Masehi berganti, dari tahun 2011 ke tahun 2012. Beberapa hari lagi, kawan saya si Fulan genap berusia 38 tahun. Itu berarti jatah hidupnya telah berkurang lagi setahun dibandingkan tahun lalu. Ia lalu mengajak saya untuk merenung. Ia kemudian berandai-andai sebagai berikut
Andai jatah hidup kita di dunia ini 60 tahun, dengan usia kita saat ini 38 tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 22 tahun lagi. Andai jatah hidup kita di dunia ini 50 tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 12 tahun lagi. Andai jatah hidup kita di dunia ini 40 tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 2 tahun lagi. Bagaimana jika jatah umur kita sudah habis dan besok atau lusa Malaikat Ijrail mencabut nyawa kita? Duh! Betapa singkatnya hidup 38 tahun. Jika demikian, betapa tidak akan terasa menjalani sisa hidup yang lebih pendek lagi; 22 tahun, 12 tahun, 2 tahun, atau malah cuma dua hari lagi…
Mendengar ’ocehan’-nya, saya mulai tersentak. Diam-diam, saya pun mulai merenungkan kata-katanya. Ia lalu melanjutkan:
Andai selama 38 tahun itu kita tidur selama delapan jam perhari, berarti sepertiga hidup kita hanya dipakai untuk tidur, yakni sekitar 12,7 tahun. Andai sisa waktu kita perhari yang tinggal 16 jam itu kita pakai 4 jam untuk nonton tivi, ngobrol ngalor-ngidul, santai, dan melakukan hal-hal yang tak berguna, berarti sisa waktu kita perhari tinggal 12 jam. Sebab, yang 12 jamnya dipakai untuk tidur dan melakukan hal-hal tadi. Dua belas jam berarti setengah hari. Jika ia dikalikan 38 tahun, berarti 19 tahun (separuh umur kita) hanya kita pakai untuk tidur dan melakukan hal-hal yang tak berguna.
Saya makin termenung. Diam-diam saya makin hanyut dalam kontemplasinya. Ia pun bertutur lagi:
Dalam usia 38 tahun itu, kita, misalkan, baru mulai bekerja efektif pada usia 25 tahun. Berarti kita bekerja sudah 13 tahun. Jika rata-rata kita bekerja 8 jam perhari, berarti kita telah menghabiskan waktu kita untuk bekerja 1/3×13 tahun=3,9 tahun. Artinya, dari 38 tahun itu kita menghabiskan total kira-kira 22,9 tahun hanya untuk tidur dan bekerja mencari dunia; termasuk nonton tivi, ngobrol ngalor-ngidul, santai, dan mungkin melakukan hal-hal tak berguna.
Mari kita bandingkan dengan aktivitas ibadah kita, juga dakwah kita. Andai shalat kita yang lima waktu, ditambah shalat-shalat sunnah, memakan waktu total hanya 1,5 jam perhari, berarti kita hanya menghabiskan 547 jam pertahun untuk shalat. Itu berarti hanya sekitar 23 hari pertahun. Andai kita baru benar-benar menunaikan shalat umur 15 tahun (saat mulai balig), berarti kita baru menghabiskan sekitar 414 hari (=23×18 [38-15]) untuk shalat. Artinya, selama 38 tahun, kita menunaikan shalat hanya 1 tahun 49 hari!
Bagaimana dengan aktivitas dakwah kita? Andai dakwah kita baru kita mulai pada usia 20 tahun dan hanya memakan waktu rata-rata 2 jam perhari, berarti kita menghabiskan waktu kira-kira 547,5 hari untuk berdakwah. Artinya, kita hanya menghabiskan waktu 1,5 tahun saja untuk berdakwah.
Aku semakin larut dalam kata-katanya. Emosiku tak tertahan. Namun, si Fulan kawanku terus saja ’berceloteh’. Ia lalu mengajakku untuk merenungkan kembali firman Allah SWT (yang artinya): Tidaklah Aku menciptkan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku (QS adz-Dzariyat [51]: 56). Ia kemudian bertutur lagi:
Saat merenungkan kembali ayat itu, hatiku menangis. Betapa tidak. Allah menciptakan hidupku dan memberiku usia sekian puluh tahun sesungguhnya agar aku gunakan untuk beribadah kepada-Nya. Namun kenyataan-nya, hidupku habis untuk tidur dan bekerja mencari dunia, juga melakukan hal yang sia-sia. Sebaliknya, hanya sebagian kecil usiaku aku habiskan untuk ibadah dan dakwah.
Saya menyela, “Bekerja kan termasuk ibadah juga.” Namun, segera ia mengajukan pertanyaan retoris kepada saya: Baik. Sekarang bagaimana jika semua itu ternyata tidak bernilai di sisi Allah? Bagaimana jika amal-amal kita ternyata tidak diterima oleh Allah? Bagaimana jika shalat kita yang jarang sekali khusyuk itu ditolak oleh Allah? Bagaimana pula jika dakwah kita pun—yang mungkin kadang bercampur dengan riya dan tak jarang minimalis—tak dipandang oleh Allah?
Betul. Kita tidak boleh pesimis. Kita harus penuh harap kepada Allah, semoga semua amal-amal kita Dia terima. Namun, kita pun sepantasnya khawatir jika semua amal yang selama ini kita anggap amal shalih dan bernilai pahala, ternyata sebagian besarnya tidak bernilai apa-apa di sisi Allah. Na’udzu billâh. Kita memang tidak berharap seperti itu.
Di sisi lain, setiap hari, puluhan kali kita bermaksiat. Kalikan saja, misalkan, dengan 23 tahun usia kita (38 tahun dikurangi masa kanak-kanak prabalig).  Tak terasa, saya pun mencucurkan air mata, tak kuasa menahan tangis, seraya bergumam, “Ya Allah, setiap detik karunia dan nikmat-Mu turun kepadaku. Namun, setiap detik pula dosa dan kesalahanku naik kepada-Mu.”
Saya lantas berdoa dengan doa Nabi Adam as.:
Ya Allah, Tuhan kami. Selama ini kami hanya menzalimi dan menganiaya diri kami sendiri. Jika saja Engkau tidak mengampuni dosa-dosa kami dan mengasihi kami, tentu kami termasuk orang-orang yang merugi.
Saya pun bedoa dengan doa Imam al-Ghazali:
Tuhanku, tidaklah pantas aku menjadi penghuni Firdaus-Mu. Namun, tak mungkin pula aku kuat menahan panasnya Neraka-Mu. Karena itu, terimalah tobatku dan ampunilah dosa-dosaku. Sesunguhnya Engkau Maha Pengampun dosa dan Engkau Mahabesar. Amin.
Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. [Arief BI]

0 komentar: