6/22/2009

SOLUSI TERHADAP PERSELISIHAN

 oleh firdaus bin musa


BAB II
PEMBAHASAN
SOLUSI TERHADAP PERSELISIHAN
جُنْدَبٍ قَالَ النَّبِيُّ ص.م اِقْرَأُالُقُرْاَنَ مَأُ تَلَفَتْ عَلَيْهِ قُلُوْ بُكُمْ فِاَذَا اخْتَلَفْتُمْ فَقُوْمُ عَنْهُ (اِخْرَجَهُ اْلبُخَارِيْ فِى 66: كِتَابَ قَضَائِلُ اْلقُرْانَ 37 بَابُ مَأُ تَلَفَتْ عَلَيْهِ قُلُوْ بُكُمْ)

LM 1706. Junub R.a berkata: Nabi SAW. Bersabda: Bacalah Al-quran selama hatimu bersatu, Maka apabila berselisih dalam memahaminya maka bubarlah kamu. (yakni jangan sampai meruncing perselisihannya. (Bukhari, Muslim).

Al- Bukhari meletakan hadis ini di 66 kitab beberapa Fadhila Al- Quran 37 Bab, bacalah Al- Quran yang hati kalian sepakat.

Imam Namawi berkata perintah untuk bubar ketika ada perbedaan dalam Al- quran menurut para ulama dalam masalah yang menyebabkan sesuatu yang dilarang. Seperti perbedaan mengenai isi Al-Quran itu sendiri ( khususnya dalam memahami ayat mutasyabihat), atau makna yang tidak bisa memakai ijtihad atau perbedaan yang menyebabkan umat ragu dan menyebabkan fitnah, cekcok atau permusuhan dan sebagainya.
Adapun perbedaan dalam pengambilan permasalahan furu’ (cabang)agama perbedaan ulama untuk mencari faedah dan mencari kebenaran maka hal itu tidak dilarang, bahkan itu diperintah bagi orang yang berkopentesi dalam bidang tersebut, hal itu terjadi pada umat islam ini terjadi pada zaman sahabat sampai sekarang.

A. Pengertian
Perpecahan atau perselisihan dalam istilah syari’ah adalah ikhtilaf. Ikhtilaf terbagi menjadi dua yakni ikhtilaf tanawwu’ (keberagaman) dan ikhtilaf tadhaadh (kontradiktif).
Ikhtilaf tanawwu’ merupakan perbedaan yang terjadi karena keberagaman dalil atau globalnya makna dari satu dalil dari suatu masalah tertentu sehingga memungkinkan untuk ditarik ke berbagai kesimpulan yang berbeda, Misalnya lagi tentang do’a iftitah Rasulullah Shalallahu ‘Alayhi Wasallam, dimana terdapat beberapa riwayat (dalil) tentang susunan do’a iftitah beliau, juga tentang permasalahan posisi tangan pada saat I’tidal (setelah ruku’) apakah kembali bersedekap atau diturunkan seperti sebelum takbiratul ihram dan banyak lagi permasalahan yang masuk kedalam kategori ikhtilaf tanawwu’ ini.
Untuk ikhtilaf jenis ini sikap kita harus tolerans (lapang dada) dalam berselisih tentang masalah tersebut. Ada pula ikhtilaf tadhaadh yakni perselisihan yang sifatnya kontradiktif dimana salah satunya pasti benar dan yang lainnya salah. Misalnya perselisihan antara Islam dengan yahudi, nashrani dan sebagainya.
B. Cikal Bakal Perpecahan / Perselisihan
a. Kezaliman Dan Kedengkian Orang Yang Berilmu
Perlu kita ketahui bahwa perpecahan merupakan sunnatullah (skenario Allah Ta’ala) sebagaimana perpecahan ini juga terjadi pada ummat-ummat sebelum Nabi Muhammad Shalallahu ‘Aalayhi Wasallam. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al Baqarah 213:
”Dahulunya manusia merupakan ummat yang satu (dalam persatuan).
Maka kemudian Allah mengutus kepada mereka Nabi-Nabi yang memberikan kepada mereka berita gembira dan peringatan (dari Allah). Dan diturunkan (pula) bersama para Nabi itu Al Kitab yang membawa kebenaran (firman Allah) supaya mereka jadikan rujukan hukum diantara mereka atas permasalahan yang mereka perselisihkan padanya. Dan tidaklah berselsisih orang-orang yang diberi kitab kecuali setelah datangnya bayyinaat kepada mereka, yaitu karena al baghyi diantara mereka….”. (Q.S.Al Baqarah 213).
Di dalam ayat diatas Allah Ta’ala menceritakan bahwa dulunya ummat manusia berada dalam satu persatuan agama. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan kepada mereka para Nabi yang membawa kitab Allah.
Tujuannya ialah agar ummat kala itu mau merujuk kepada Kitab Allah tersebut ketika terjadi perselisihan diantara mereka.
Namun meskipun telah datang kepada mereka Nabi dan Kitabullah yang dibawanya dan telah mereka dapatkan penjelasan (bayyinaat) dari keduanya, mereka tetap berselisih dan tidak mau merujuk kepada Nabi dan Kitabullah tersebut sehingga sejak saat itu mulailah mereka berpecah belah.
Didalam ayat tersebut Allah Ta’ala juga menerangkan penyebab mengapa mereka tetap berselisih meskipun telah datang kepada mereka bayyinaat, yaitu karena adanya al baghyi diantara mereka. Dalam hal ini Al Imam Al Baghawi menerangkan makna al bagyi dalam ayat ini yaitu dzhulman (kedzaliman) wa hasada (hasad dan dengki).
Demikianlah cikal-bakal perpecahan agama dari ummat manusia ini, dimulai dari orang-orang yang telah diberi bayyinaat atau ilmu tentang agama ini (yang sering kita istilahkan dengan ulama), dimana di dalam hati para ahli ilmu agama ini terdapat kedzhaliman dan kedengkian di antara sesama mereka. Dengan kata lain permasalahannya adalah permasalahan bathin, dimana bathin mereka itu telah dirusakkan dengan sifat dengki diantara sesama mereka sehingga munculah akhlaq dhzahir yang jelek pada mereka yaitu Dzhalim (tidak adil), yang akhirnya mengantarkan mereka kepada malapetaka besar yakni perpecahan dalam agama mereka.
Sementara tatkala para pemuka agama tersebut dalam keadaan yang demikian, maka ummat yang mereka pimpin pun otomatis ikut berpecah belah sebagaimana keadaan para pemimpin-pemimpinnya tersebut.
Dalam menjelaskan ayat diatas Rasulullah Shalallahu `alayhi wasallam bersabda: ”Menimpa kamu suatu penyakit ummat-ummat sebelum kamu, yaitu hasad (dengki) dan benci-membenci. Dialah pencukur (penggundul) agama, bukan sekedar pencukur rambut.(H.R.Tirmidzi)
Disini Rasulullah memeberitakan bahwa sebab perpecahan dan kerusakan agama pada umat ini (ummat Nabi Muhammad Shalallahu ‘Aalayhi Wasallam ) ialah persis seperti penyakit yang menimpa pada umat-umat sebelumnya yaitu disebabkan oleh al hasad dan al baghdha`, sehingga membinasakan agama mereka.
Sehingga dari ayat dan hadits diatas dapat diambil pengertian bahwa ketika umat ini berpecah-belah, berarti sesungguhnya pada ummat ini sedang dihinggapi penyakit pada dzhahir dan bathin mereka. Pada dzhahir mereka yaitu pada akhlaqnya yaitu kedzhaliman, dan penyakit pada bathin mereka yaitu hasad (kedengkian). Dan untuk dapat lepas dari penyakit lahir batin seperti ini tentu dibutuhkan perjuangan dan keikhlashan yang kuat.
b. Berbedanya Dalam Memahami Ayat Mutasyabihat
Secara bahasa (etimologi), kata mutashabihat berasal dari kata tashabuh yang berarti "keserupaan" dan "kemiripan". Tashabaha dan ishtabaha berarti saling menyerupai satu dengan lainnya hingga tampak mirip sehingga perbedaan yang ada diantara keduanya menjadi samar. Sehingga ungkapan orang-orang bani Israil kepada nabi Musa yang berbunyi "inna al-baqara tashabaha 'alayna" berarti "sesungguhnya sapi itu sangat mirip di mata kami". Jadi makna mutashabih adalah ungkapan yang memperlihatkan bahwa sesuatu itu sama dengan sesuatu yang lain dalam satu atau beberapa sisi atau sifat, atau yang membuat sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal, dengan mudah dapat dipahami.
c. Adanya Pengikut Yang Fanatik Mazhab
Tindakan memonumenkan fikih dan fuqaha’ itu melahirkan sikap, bahwa fikihnyalah yang diklaim paling benar, sedangkan yang lain salah; fuqaha’-nya juga dianggap sebagai yang paling hebat, sementara yang lain tidak. Sikap seperti ini bisa berubah menjadi fanatisme mazhab yang sempit, dan bisa menjerumuskannya dalam tindakan mengkafirkan atau menyesatkan fikih dan fuqaha’ lain, berikut para pengikutnya. Sebaliknya, muncullah sikap menganggap dirinya, fikih dan mazhabnyalah yang benar. Sikap inilah yang menyebabkan terjadinya perpecahan dan konflik di kalangan pengikut mazhab, sebagaimana yang pernah terjadi antara para pengikut Hanafi dan Syafii pada masa lalu. Realitas ini hingga kini pun masih terjadi. Bahkan yang sangat mengkhawatirkan, ketika penyakit seperti ini diderita oleh para ulama, bukan hanya orang awam.
C. SOLUSI
Ketika kita dihadapkan pada sebuah sunnatullah seperti kondisi perpecahan dan perselisihan yang seperti ini, maka tentunya kita tidak akan dibiarkan oleh Allah Ta`ala begitu saja, sebab pasti Allah Ta`ala akan berikan jalan keluarnya. Dalam hal ini sikap yang paling pertama yang mesti kita lakukan yang dituntunkan kepada kita adalah agar mengambil sikap mencari keselamatan diri sendiri terlebih dahulu dari berbagai fitnah perpecahan tersebut, dan bukan berfikir untuk menyatukan kembali ummat .
Sebab yang terpenting dan menjadi prioritas utama dalam hidup ini serta sesuai dengan kemampuan kita saat ini adalah menjaga keselamatan diri pribadi kita dan agama kita agar jangan sampai dirusakkan oleh berbagai penyakit tersebut yang akan menimbulkan malapetaka besar pada agama dan masa depan akhirat kita. Allah berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”(Q.S.At Tahrim 6).
Kemudian lebih dalam lagi kita disuruh memahami bahwa berbagai peristiwa perpecahan tersebut disamping disebabkan oleh pribadi orang–orang yang berilmu, juga disebabkan oleh taqdir Allah. Kita disuruh memahami hal tersebut dengan berbaik sangka kepada Allah Ta`ala bahwa Allah Ta`ala-lah yang telah mentaqdirkan segala perpecahan ini tentunya dengan hikmah dan keadilanNya yang Maha Sempurna..
Dalam menerangkan hal ini Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam bersabda::
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimpin budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan) kepada hal-hal yang baru itu adalah kebid’ahan dan setiap kebid’ahan adalah kesesatan” (H.S.R. Abu daawud & At Tirmidzi)
Lebih tegas lagi Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam menjelaskan:
Dari ‘Auf bin Malik, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Yahudi terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, satu (golongan) masuk Surga dan yang 70 (tujuh puluh) di Neraka.
Dan Nasrani terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, yang 71 (tujuh puluh satu) golongan di Neraka dan yang satu di Surga. Dan demi Yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, ummatku benar-benar akan terpecah men-jadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, yang satu di Surga, dan yang 72 (tujuh puluh dua) golongan di Neraka”. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka (satu golongan yang masuk Surga itu) wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Al-Jamaa’ah”. Dalam riwayat lain: ”Apa yang aku dan para Shahabatku berada di atasnya”.(H.S.R.An Nasaa’I & At Tirmidzi)
Dari beberapa ayat dan hadits diatas, ternyata kita dibimbing untuk berfikir realsitis. Ibnu Umar Radhiyallahu `Anhuma berkata:” kita dilarang untuk membeban-bebankan diri dari apa yang kita tidak mampu melaksanakannya.”. Sehingga dalam mengahadapi kenyataan perpecahan ummat ini, hendaknya kita berfikir tentang apa yang kita mampu, dan jangan berfikir tentang apa yang kita tidak mampu melakukannya.
Untuk itu kita dituntunkan Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam agar kita tidak buang-buang energi untuk mencoba-coba kemampuan dengan berhayal untuk mampu mempersatukan seluruh kaum muslimin dalam situasi perpecahan ini, namun kita dituntunkan untuk langsung mencari kepastian yang telah dituntunkan Allah dan RasulNya yakni dengan mempelajari sunnah Nabi dan sunnah para khulafaa` rasyidin.
Dimana dalam hal ini Islam menuntunkan bahwa perpecahan ummat ialah suatu kemestian dan untuk menyikapinya kita dituntunkan menyelamatkan diri kita masing-masing terlebih dahulu dengan mempelajari Islam dngan pemahaman yang benar dari para sahabat Nabi Shalallahu `Alayhi Wasallam.
Namun bukan berarti kita lantas tidak berusaha untuk mengajak ummat kepada pemahaman yang satu (stándar) yakni pemahaman para shahabat nabi (salafus Shalih), akan tetapi yang dimaksudkan disini adalah kita tetap berusaha mengajak ummat kepada satu pemahaman yang standar yakni memahami Al Qur`an dan Assunnah dengan pemahaman generasi terbaik didalam Islam yakni pemahaman para khulafaa` Rasyidin (para shahabat) terhadap Islam, namun dengan tetap meyakini bahwa perpecahan itu merupakan taqdir Allah atas ummat ini sebagaimana juga pada ummat-ummat sebelumnya.
Dalam kamus fikih, Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie menyatakan, bahwa mazhab adalah metode tertentu dalam menggali hukum syariah yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang bersifat kasuistik.1Dari perbedaan metode penggalian hukum inilah, kemudian lahir mazhab fikih.
Dalam perkembangannya, istilah mazhab juga digunakan bukan hanya dalam konteks fikih, tetapi juga akidah dan politik. Sebut saja Prof. Dr. Abu Zahrah, dengan bukunya, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah: Fî as-Siyâsah, wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Fiqh al-Islâmi.2 Lebih jauh beliau menegaskan, bahwa semua mazhab tersebut masih merupakan bagian dari mazhab Islam. Beliau kemudian melakukan klasifikasi, antara lain, mazhab politik, seperti Syiah dan Khawarij;3 bisa juga ditambahkan, Ahlussunnah dan Murjiah. Kemudian mazhab akidah seperti Jabariyah, Qadariyah (Muktazilah), Asy’ariyah, Maturidiyah, Salafiyah dan Wahabiyah.4 Adapun mazhab fikih adalah seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah, Zahiriyah, Zaidiyah dan Ja‘fariyah.5
Meski demikian, tetap harus dicatat, bahwa sekalipun mazhab Islam tersebut banyak, bukan berarti umat Islam tidak lagi memiliki kesatuan akidah, sistem dan politik. Sekali lagi, tidak demikian. Sebab, perbedaan mazhab tersebut tetap tidak mengeluarkan umat Islam dari ranah akidah, sistem dan politik Islam. Di samping itu, perbedaan tersebut merupakan keniscayaan faktual dan syar‘i.
Secara faktual, potensi intelektual yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing orang jelas berbeda. Dengan perbedaan potensi intelektual tersebut, mustahil semua orang bisa menarik kesimpulan yang sama ketika berhadapan dengan nas-nas syariah. Belum lagi ungkapan dan gaya bahasa (uslûb) al-Quran dan Hadis Nabi—yang nota bene berbahasa Arab—mempunyai potensi multiinterpretasi (ta’wîl), baik karena faktor ungkapan maupun susunan (tarkîb)-nya.
Adapun secara syar‘i, dilihat dari aspek sumber (tsubût)-nya, nas-nas syariah tersebut ada yang qath‘i, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir, dan ada yang zhanni, seperti Hadis Ahad. Untuk konteks dalil qath‘i tentu tidak ada perbedaan terkait dengan penggunaannya untuk membangun argumen (istidlâl). Namun, tidak demikian dengan sumber yang zhanni. Hal yang sama juga terjadi dalam konteks dilâlah nas-nas syariah tersebut. Sekalipun nas-nas tersebut qath‘i dari aspek sumbernya, dilâlah-nya tidak selalu qath‘i. Sebab, ada juga yang qath‘i, dan ada yang zhanni. Dalam konteks dilâlah qath‘iyyah, tentu tidak ada perbedaan pendapat tentang maknanya, tetapi bagaimana dengan dilâlah zhanniyyah? Tentu tidak demikian.
Karena itulah, bisa disimpulkan, bahwa terjadinya perbedaan pendapat, yang melahirkan ragam mazhab itu, merupakan suatu keniscayaan. Namun tidak berarti, bahwa keniscayaan tersebut bersifat mutlak dalam segala hal. Jelas tidak. Demikian halnya, potensi nas-nas syariah untuk bisa dimultitafsirkan juga tidak berarti bebas dengan bentuk dan metode apapun. Sebab, jika tidak, ini akan membawa kekacauan.
Karenanya, Islam tidak menafikan keniscayaan tersebut, meski Islam juga tidak menjadikan keniscayaan tersebut sebagai hukum. Keniscayaan faktual dan syar‘i tersebut lalu diselesaikan oleh Islam dengan sejumlah hukum yang bisa langsung diimplementasikan serta mampu mewujudkan keharmonisan individual dan kelompok secara simultan.
Karena masih kurang atau bahkan tidak memahami sejumlah kaidah dan ketentuan dalampengambilan hukum islam seperti :
1. Dalam konteks nas-nas syariah yang qath‘i tsubut dan qath‘i dilâlah, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir yang maknanya qath‘i, baik dalam masalah akidah maupun hukum syariah, atau ushûl dan furû‘, tidak boleh ada perbedaan pendapat. Dengan kata lain, berbeda pendapat dalam konteks ini hukumnya haram.
2. Berbeda pendapat dibolehkan oleh Islam dalam konteks nas-nas syariah yang zhanni, baik dengan qath‘i tsubût dengan zhanni dilâlah, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir yang maknanya zhanni, maupun zhanni tsubût dengan qath‘i dilâlah, seperti Hadis Ahad yang bermakna qath‘i.
3. Pemultitafsiran (ta’wîl) nas-nas syariah tetap dibolehkan, tetapi harus dalam koridor dilâlah yang ditunjukkan oleh nas serta sesuai dengan kaidah dan metode memahami dan istinbâth yang dibenarkan oleh syariah.
4. Pandangan yang dihasilkan oleh semua mazhab dianggap benar, dengan catatan tetap mempunyai potensi salah.
5. Mengikuti pandangan mazhab tersebut tidak dalam kerangka untuk memastikan seratus persen pandangan tersebut benar dan salah, melainkan dalam kerangka tarjîh dan ghalabat zhann. Dengan kata lain, kita mempunyai dugaan kuat, bahwa hukum yang kita ambil dan ikuti dalam masalah tertentu adalah hukum Allah bagi kita, dan juga orang yang menyatakannya, terlepas dari siapa yang menyatakannya. Namun, jika kemudian terbukti salah, hukum itu pun dianggap marjûh dan lemah sehingga ketika itu harus ditinggalkan.
Itulah, mengapa semua mazhab Islam tersebut pada dasarnya mazhabnya satu, yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Bahkan tidak satu pun di antara mereka mengklaim dirinya, kecuali dengan menyatakan:
رَأْيِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ
Pendapat saya benar namun berpotensi salah. Sebaliknya, pendapat yang lain itu salah, namun berpotensi benar.
Mereka pun saling memuji satu sama lain; mereka saling menerima alasan dan argumentasi satu sama lain. Yang yunior menggambarkan yang senior sebagai bintang dan tetap bersikap tawadhu‘ terhadap seniornya.
Sikap-sikap ini dan juga sikap serupa yang lainnya telah menerangi pikiran dan menguatkan ikatan batin mereka. Namun, sikap ini tidak lagi diwarisi oleh para pengikut mereka. Ijtihad pun mereka tutup. Mazhab pun dibatasi hanya empat. Padahal masih banyak ulama yang mampu berijtihad dan membangun mazhab sendiri. Sikap inilah yang menyebabkan lahirnya sikap fanatisme mazhab. Dengan kata lain, fikih dan fuqaha’-nya dijadikan layaknya monumen.
Tindakan memonumenkan fikih dan fuqaha’ itu melahirkan sikap, bahwa fikihnyalah yang diklaim paling benar, sedangkan yang lain salah; fuqaha’-nya juga dianggap sebagai yang paling hebat, sementara yang lain tidak. Sikap seperti ini bisa berubah menjadi fanatisme mazhab yang sempit, dan bisa menjerumuskannya dalam tindakan mengkafirkan atau menyesatkan fikih dan fuqaha’ lain, berikut para pengikutnya. Sebaliknya, muncullah sikap menganggap dirinya, fikih dan mazhabnyalah yang benar. Sikap inilah yang menyebabkan terjadinya perpecahan dan konflik di kalangan pengikut mazhab, sebagaimana yang pernah terjadi antara para pengikut Hanafi dan Syafii pada masa lalu.
Realitas ini hingga kini pun masih terjadi. Bahkan yang sangat mengkhawatirkan, ketika penyakit seperti ini diderita oleh para ulama, bukan hanya orang awam.
Satu-satunya solusi untuk menyembuhkan penyakit seperti ini adalah dengan memposisikan fikih dan fuqaha’ pada posisi sejajar, sebagaimana yang pertama digariskan oleh syariah dan diejahwentahkan oleh para Sahabat. Dengan posisi tersebut, tak ada satu pun fikih dan fuqaha’ yang dilebihkan satu sama lain. Sebab, mereka masing-masing adalah mujtahid. Masing-masing akan mendapatkan pahala dan harus diberi ucapan selamat, ketika benar, dan tetap mendapatkan pahala, dan harus dimaafkan, jika kemudian terbukti salah. Pada titik inilah as-Suyuthi menyatakan:
Aneh, ada orang yang mengagung-agungkan sebagian mazhab melebihi yang lain. Pengagungan ini yang menyebabkan berkurang dan jatuhnya martabat mazhab yang dikalahkan, bahkan kadangkala menyebabkan konflik di tengah orang awam. Lahirlah kemudian fanatisme dan sentimen Jahiliah. Seharusnya, para ulama bersih dari perkara-perkara tersebut. Karena, perbedaan furû‘ tersebut benar-benar telah terjadi pada zaman Sahabat, padahal mereka adalah umat terbaik. Namun, tak satu pun di antara mereka ada yang menyerang atau memusuhi yang lain, juga menyatakan yang lain salah dan pendek akalnya. 6
Para Sahabat—ridhwânullâh ‘alayhim—adalah fuqaha’ pertama, bahkan penghulu para fuqaha’. Terhadap mereka, Rasulullah menyatakan:
أَصْحَابِي كَالنُّجُوُمِ، بِأَيِّهِمْ اقْتَدَيْتُمْ، اِهْتَدَيْتُمْ
Para Sahabatku bagaikan bintang. Kepada siapapun di antara mereka kalian ikut, maka pasti kalian akan mendapatkan petunjuk. (HR ad-Daruquthni dan al-Khathib)7
Demikian halnya dengan fuqaha’ setelah mereka. Mereka bagaikan bintang. Kepada siapapun di antara mereka, jika kita ikuti, maka kita pun insya Allah akan mendapatkan petunjuk. Tentu, selama mereka berpegang teguh dan terikat kepada syariah.
Pandangan inilah yang terbukti telah menyatukan umat Islam dan tetap menjadikan loyalitas seorang Muslim hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan yang lain. Karenanya, perbedaan di kalangan fuqaha’ adalah rahmat dan memudahkan umat. Jika perbedaan tersebut diposisikan pada posisinya yang sahih hingga bisa memerankan peranan yang positif dan sehat, pasti perbedaan mazhab tersebut akan menghasilkan kekayaan intelektual dan syariah, yang justru menjadi kebanggaan dan kehormatan bagi setiap Muslim.


BAB II
PENUTUP
KESIMPULAN
Banyaknya perselisihan yang terjadi dalam memahami ayat al-qur’an, disebabkan oleh beberapa faktor, misal;
a. Kezaliman Dan Kedengkian Orang Yang Berilmu
b. Berbedanya Dalam Memahami Ayat Mutasyabihat
c. Adanya Pengikut Yang Fanatik Mazhab
Adapun solusi untuk mengatasi hal yang demikian ialah dengan;
a. Dalam hal ini sikap yang paling pertama yang mesti kita lakukan yang dituntunkan kepada kita adalah agar mengambil sikap mencari keselamatan diri sendiri terlebih dahulu dari berbagai fitnah perpecahan tersebut, dan bukan berfikir untuk menyatukan kembali ummat
b. Karena masih kurang atau bahkan tidak memahami sejumlah kaidah dan ketentuan dalampengambilan hukum islam seperti :
1. Dalam konteks nas-nas syariah yang qath‘i tsubut dan qath‘i dilâlah, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir yang maknanya qath‘i, baik dalam masalah akidah maupun hukum syariah, atau ushûl dan furû‘, tidak boleh ada perbedaan pendapat. Dengan kata lain, berbeda pendapat dalam konteks ini hukumnya haram.
2. Berbeda pendapat dibolehkan oleh Islam dalam konteks nas-nas syariah yang zhanni, baik dengan qath‘i tsubût dengan zhanni dilâlah, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir yang maknanya zhanni, maupun zhanni tsubût dengan qath‘i dilâlah, seperti Hadis Ahad yang bermakna qath‘i.
3. Pemultitafsiran (ta’wîl) nas-nas syariah tetap dibolehkan, tetapi harus dalam koridor dilâlah yang ditunjukkan oleh nas serta sesuai dengan kaidah dan metode memahami dan istinbâth yang dibenarkan oleh syariah.
4. Pandangan yang dihasilkan oleh semua mazhab dianggap benar, dengan catatan tetap mempunyai potensi salah.
5. Mengikuti pandangan mazhab tersebut tidak dalam kerangka untuk memastikan seratus persen pandangan tersebut benar dan salah, melainkan dalam kerangka tarjîh dan ghalabat zhann. Dengan kata lain, kita mempunyai dugaan kuat, bahwa hukum yang kita ambil dan ikuti dalam masalah tertentu adalah hukum Allah bagi kita, dan juga orang yang menyatakannya, terlepas dari siapa yang menyatakannya. Namun, jika kemudian terbukti salah, hukum itu pun dianggap marjûh dan lemah sehingga ketika itu harus ditinggalkan.
c. Dengan memposisikan fikih dan fuqaha’ pada posisi sejajar, sebagaimana yang pertama digariskan oleh syariah dan diejahwentahkan oleh para Sahabat
dan menurut pemakalah diantara tiga faktor tadi masih banyak lagi faktor, dan solusi untuk mengatsinya, diantara faktor tersebut ialah karena pengaruh pola pikir ( pendidikan ), serta pandangan seseorang dalam memahami ayat, dan kalau kita lihat dari tiga faktor sebelumnya itu hanya secara umum, untuk lebih khusus pemakalah harap dapat kita baca dan temui dibuku rujukan ulama terdahulu.

KRITIK DAN SARAN
Pemakalah menyadari bahwa apa yang telah pemakalah kemukakan ini, belumseberapa untuk menuntaskan perselisihan yang terjadi dikalangan orang yang berilmu, karena itu kami berharap adanya masukan dan kritikan yang membangun dari berbagai pihak, atas partisispasinya pemakalah ucapkan ribuan terima kasih, wassalam
















DAFTAR PUSTAKA


Muhammad Fu’ad abdul Baqi. Al-lu’lu’ wal marjan, Himpunan hadits shahih yang disepakati bukhari dan muslim.
Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, ed. Dr. Hamid Shadiq Qainabi, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 1996, hlm. 389.
Prof. Dr. Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah fi as-Siyasah, wa al-‘Aqaid wa Tarikh al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Beirut, t.t., hlm. 3.
Ibid, hlm. 32 dan 58.
Ibid, hlm. 96-194.
Ibid, hlm. 345-698.
Lihat: As-Suyuthi, dalam Jazil al-Mawahib fi Ikhtilaf al-Madzahib, hlm. 21-23.
Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Lisan al-Mizan, Mu’assasah al-A’la li al-Mathbu’at, Beirut, juz II, hlm. 118, 137 dan 312.


WAWASAN KOMUNIKASI DALAM HADIS

Makalah
“SOLUSI TERHADAP PERSELISIHAN”


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Matakuliah Sejarah Dakwah
Fakultas Dakwah Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Semester IV
Tahun Ajaran 2009-2010











Disusun Oleh :


Firdaus bin Musa : 207.079
Marliza : 207.089


Dosen Pembimbing :

Drs.M. Damanik , MA





JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM (KPI)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1430 H / 2009


KATA PENGANTAR
بسم لله الر حمن الرحيم


Segala Puji bagi Allah Yang Telah Memberi Rahmat Dan Karunianya Yang Tiada terhingga terhapad kita semua, sehinga kami dapat menyelesaikan makalah ini walaupun masih banyak kekurangan didalamnya, shalawat dan salam kita mohonkan kepada allah agar tercurah kepada Nabi Muhammad saw semoga allah selalu merahmatinya.
Dengan pertololangan dan hidayah allah swt, makalah wawasan komunikasi dalam hadis alhamdulilah dapat kami selesaikan, sebagai bahan kuliah, Sebagai bahan referensi bagi kami dan teman-teman semua.
Kami sebagai penyusun berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang positif untuk kesempurnaan makalah ini. Merupakan harapan pula, semoga makalah ini tercatat sebagai amal saleh bagi penulis dan pembuatan makalah ini mudah-mudahan bermamfaat amin.








Padang, 7 Mei 2008


Penulis


WAWASAN KOMUNIKASI DALAM HADIS

Makalah
“SOLUSI TERHADAP PERSELISIHAN”


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Wawasan Komunikasi dalam Hadis Fakultas Dakwah Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Semester IV Tahun Ajaran 2009-2010











Disusun Oleh :


Firdaus bin Musa : 207.079
Marliza : 207.089


Dosen Pembimbing :

Drs.M. Damanik , MA




JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM (KPI)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1430 H / 2009

0 komentar: