2/16/2011

SALAH SIAPA INI??!!

http://penarevolusi.wordpress.com/
 Quantcast
Hujan belum reda. Gertak tegas bayu menampar-nampar bulir air yang hendak jatuh ke bumi, memapah mereka sekian senti, dan membiarkannya jatuh. Tuk tuk! Iramanya teratur, membentuk balada khas musim penghujan zona equator yang kini telah bergeser ke bulan April. Canda sang air merayu akar-akar kokoh yang menyembul di antara belukar, memaksa tanah menghempas molekulnya ke udara. Hingga bau khas itu tercium. Aroma tanah basah yang menyeruak dan tertangkap indra penciuman seorang lelaki yang terduduk di samping akar kokoh. Ia bergumam, “Aku suka bau ini. Aku suka.”
Lelaki itu menengadahkan kepala, ia tampung tiap rintik yang jatuh pada permukaan wajah, sesekali ia meneguknya. Tak ada satu hal pun yang mampu membuat ia merasa aman dari masalah selain apa yang dilakukannya sekarang. Terdiam di akar mahoni yang tumbuh berjajar belakang rumah, mengejar aroma tanah yang tenggelam menyembul di antara terpaan hujan. Hidungnya kembang kempis bak pompa mini pengisi kasur udara saat ia berhasil mencuri aroma itu dari tetes air yang hendak mengikatnya kembali ke tanah.
Jika kau pikir lelaki itu gila maka kau sungguh BENAR! Kewarasannya telah tergerus dengan gelombang perjalanan waktu yang tak menyisakan sedikit ruang baginya untuk merenung dan bersikap bijak. Tamparan hidup yang dibogemkan pada diary hidupnya membuat akalnya gagap mengindra dan hatinya terkena stroke. Detak fikirnya berhenti sampai di situ. Selanjutnya ia jalani sisa hidupnya dengan satu liter obat bius yang seolah disuntikkan tiap hari. Ba’al. Mati rasa.
Setelah matanya tak kuat lagi mengerjap-ngerjap menolak hujan, maka segera ia gali sebuah gundukan mungil yang ada di hadapannya. Ia gali dengan tangannya yang sedikit keriput. Senyumnya terkembang bagai edelweiss yang mulai putih merekah. Tak terbersit baginya untuk mengatupkan bibirnya hingga deretan giginya yang kecoklatan terus menampak. Ia raih rangka mungil dari dalam tanah, ia susun kembali di atas belukar samping mahoni. Tengkoraknya, rusuknya, lengannya, tulang betisnya, ia susun rapi empat gigi mungil yang terjatuh di antara belulang yang lain, ia tata gigi itu pada rangkaian kepala. Senyumnya makin lebar. Sungguh lebar.
Mungkin tak terlihat, tapi bisa dipastikan matanya juga bagai sumber air, tak kalah deras dengan hujan. Menggali gundukan kecil, menyusun rangka mungil yang ada di dalamnya, lalu menguburnya lagi adalah sebuah candu yang melesak dalam ingatannya bagai bubuk morfin yang memberi kenikmatan tanpa batas. Itulah belulang buah hatinya. Ia temukan tumpuan hidupnya sepuluh tahun lalu telah dalam keadaan tak bernyawa dengan tulang leher patah. Setelah rumahnya dulu harus disita karena ketakadilan hukum yang memenangkan pemilik kebun sawit atas rumah dan tanahnya, setelah pemecatan dirinya dari tempat kerja yang merupakan dampak resesi ekonomi global, setelah keputusasaan sang istri yang tak sanggup hidup tertindas di ketiak kapitalisme, maka ia temukan buah hati satu-satunya harus menjadi korban luapan amarah dan ketakrealistisan pendamping hidupnya sendiri yang kini masih terkotak di balik jeruji besi dengan akal yang juga sudah hilang.
Jika kini lelaki itu cuma bisa terduduk di akar mahoni, sibuk mencari aroma tanah di bawah hujan, merangkai dan menimbun lagi rangka busuk sang buah hati, tak mampu merasai, maka kutanya kau… SALAH SIAPA INI ???!!!

0 komentar: