Oleh : Al Ustadz
Musthofa A. Murtadlo
Ketika kita
baca sekilas tulisan tentang Hizbut Tahrir di situs PP Nurul Huda pasti
menarik. Mengapa? Karena topik yang dikaji adalah topik yang berkaitan dengan
Islam dan kaum Muslimin. Kita, sebagai bagian dari kaum Muslimin, tentu harus
menjadikan problem multi dimensional kaum Muslimin serta semua hal yang
berkaitan dengan kaum Muslimin sebagai qadhiyyah kita. Kita tidak boleh
memiliki karakter yang digambarkan oleh seorang penyair:
أبني ان من الرجال بهيمة ***** فى صورة الرجل السميع
المبص
فطن لكل مصيبة فى ماله ***** واذا اصيب بدينه لم يشعر
Wahai anakku sesungguhnya ada sebagian laki-laki yang
seperti binatang ternak *** Dalam wujud seorang laki-laki yang (bisa) mendengar
dan melihat. Dia cerdas (kreatif) terhadap setiap musibah yang menimpa hartanya ***
Tapi apabila menimpa agamanya dia sama sekali tidak merasa
Sayangnya,
tulisan tersebut bukan hanya tidak benar, tapi sudah masuk kategori fitnah. Hal
yang sama pernah dilakukan oleh Abdullah al-Harari dan Firqah al-Ahbasy. Dalam
booklet Al-Gharrah Al-Imaniyah Fi Mafasid At-Tahririyyah, Abdullah al-Harari
telah melemparkan fitnah terhadap Hizbut tahrir secara serampangan bahkan
dengan mengabaikan kaedah-kaedah ilmiah.
Meski
belum clear benar apakah tulisan yang dimuat di situs PP Nurul Huda tersebut
merupakan kesimpulan dari penelitian terhadap kitab-kitab Hizbut Tahrir, atau
sekedar copy paste dari tulisan yang terdapat pada kutaib Al-Gharrah
Al-Imaniyah Fi Mafasid At-Tahririyyah, yang pasti memang ada kesamaan tema,
tuduhan serta metode kajian yang dipakai. Itu yang pertama.
Kedua, jika
kita mengkaji tulisan tersebut, secara bisathah kita dapat menyimpulkan bahwa
‘penyesatan’ terhadap Hizbut Tahrir ala PP Nurul Huda adalah kategori jari’an
fi al-fatawa wa i’thail hukmi (gegabah dalam berfatwa dan penetapan hukum).
Sikap ini adalah sikap yang dijauhi oleh para ulama’ salaf. Bahkan ada diantara
mereka mengkategorikan siapa saja yang berkarakter seperti itu layak diragukan
keikhlasannya.
Alhasil,
tulisan tentang Hizbut Tahrir yang dimuat di situs PP Nurul Huda tersebut amat
disayangkan. Mengapa? Karena, disamping merupakan sikap gegabah dalam
memberikan fatwa, juga sama artinya dengan menyampaikan begitu saja apa yang di
dengar atau yang di baca tanpa melakukan kajian yang mendalam atas sumber yang
dijadikan acuan. Ini adalah kebohongan. Rasulullah SAW bersabda[2]:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا
سَمِعَ (أخرجه الامام مسلم)
“Cukuplah
seseorang (dikatakan) berbohong apabila dia menyampaikan semua hal yang dia
dengar” (Hadits dikeluarkan oleh Imam Muslim).
Dalam kitab
Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Syeikhul Islam al-Hafidz Abi Zakaria Yahya
an-Nawawi menjelaskan[3]:
وَأَمَّا مَعْنَى
الْحَدِيث وَالْآثَار الَّتِي فِي الْبَاب
فَفِيهَا الزَّجْر عَنْ
التَّحْدِيث بِكُلِّ مَا سَمِعَ الْإِنْسَان
فَإِنَّهُ يَسْمَع فِي الْعَادَة
الصِّدْق وَالْكَذِب ، فَإِذَا
حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ فَقَدْ كَذَبَ
لِإِخْبَارِهِ بِمَا لَمْ يَكُنْ .
وَقَدْ تَقَدَّمَ أَنَّ مَذْهَب أَهْل
الْحَقّ أَنَّ الْكَذِب :
الْإِخْبَار عَنْ الشَّيْء بِخِلَافِ مَا
هُوَ ، وَلَا يُشْتَرَط
فِيهِ التَّعَمُّد لَكِنَّ التَّعَمُّد
شَرْط فِي كَوْنه إِثْمًا وَاَللَّه أَعْلَمُ
“…dan
pengertian hadits dan atsar dalam topik tersebut, di dalamnya terdapat larangan
untuk menyampaikan setiap hal yang didengar oleh manusia, karena biasanya dia
mendengar (berita) yang benar maupun yang dusta. Apabila dia menyampaikan
setiap hal yang dia dengar, sungguh dia telah berbohong karena menyampaikan
hal-hal yang tidak terjadi. Dan (telah dibahas) di depan bahwa (menurut)
madzhab Ahlu al-Haq bahwa bohong itu adalah menyampaikan berita atas sesuatu
yang berbeda dengan faktanya, dan di dalamnya tidak disyaratkan adanya unsur
kesengajaan. Tapi kesengajaan tersebut merupakan syarat bahwa kebohongan
tersebut merupakan perbuatan dosa. Wallahu a’lam“.
Mestinya
pengelola situs PP Nurul Huda meneliti dengan cermat, terutama isnad, khabar
yang sampai pada mereka. Sehingga tidak terjebak pada kekeliruan akibat sikap
ceroboh atau sembrono. Tentang pentingnya isnad atas khabar, Imam Ibn Sirin
berkata[4]: ”(Mereka) pada awalnya tidak bertanya tentang isnad, namun ketika
terjadi fitnah beri identitas rijal kalian, lalu dia akan diperiksa apabila
(termasuk) ahlus sunnah maka diambil tapi jika termasuk ahlul bid’ah maka
jangan diambil hadits mereka”
Imam Abdullah Ibn al-Mubarak barkata[5]:
الْإِسْنَادُ مِنْ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ
لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Isnad
itu adalah bagian dari dien, kalaulah bukan karena isnad maka orang akan
berkata semaunya”.
Jika pengelola
situs PP Nurul Huda melakukan hal tersebut, tentu tidak akan begitu gegabah
‘menyesatkan’ Hizbut Tahrir. Dalam Islam menyesatkan seseorang apalagi secara
kolektif bukan perkara sepele. Karena konsekuensinya bisa jadi menyangkut
masalah ushul, bukan hanya sekedar masalah furu’. Sekali lagi, kita tidak boleh
terjebak pada sikap Jari’an fi al-fatawa wa I’tha’il hukmi.
Berdasarkan
fakta diatas, kami akan paparkan dua hal. Pertama, siapa Abdullah al-Harari
al-Habasyi dan firqah al-Ahbasy. Kedua, kajian tiap maudhu’ yang dibahas dalam
situs PP Nurul Huda.
Pertama,
tentang Abdullah al-harari dan Firqah al-Ahbasy. Fakta adanya kesamaan maudhu’
al-bahts dan thariqatul bahts dalam situs PP Nurul Huda dengan tulisan Abdullah
al-Harari al-Habasyi di dalam booklet al-Gharah al-Imaniyyah fi Mafasid
at-Tahririyyah, memaksa kita untuk terpaksa menyimpulkan bahwa tulisan tersebut
kemungkinannya adalah: (1) Copy-paste tulisan Abdullah al-Harari dalam booklet
diatas, atau (2) paling tidak penulis terinspirasi dengan tulisan tersebut.
Karena itu ahsan kalau saya sampaikan data-data tentang siapa Abdullah
al-Harari dan Firqah al-Ahbasy dari sumber-sumber yang berkompeten.
Abdullah
al-Harari datang ke Lebanon tahun 1950[6]. Dia hijrah ke Lebanon setelah
mengobarkan fitnah melawan umat Islam di Kota Harar, Ethiopia, dengan melakukan
konspirasi dengan rezim diktator Kafir Ethiopia, Hilasilasi. Nama lengkapnya adalah
Abdullah bin Muhammad asy-Syaibi al-Abdari al-Harari al-Habasyi.[7] Menurut
majalah al-Wathanul Arabi, masih banyak kontroversi seputar tokoh ini, antara
lain tentang nasab dan tanggal lahirnya[8].
Untuk
mendiskripsikan lebih jauh siapa Abdullah al-Harari yang juga pendiri Firqah
al-Ahbasy di Lebanon, kami akan paparkan tiga hal. Pertama, sikap Abdullah al-Harari terhadap Shahabat
Rasulullah SAW serta para ulama’ Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah. Abdullah
al-Harari banyak mencela Shahabat RA, khususnya Muawiyyah bin Abi Sufyan RA[9].
Dia berkata:
بأنه ليس في قلبه خشية لله ولا تقوى، وأنه رجل مخادع
“Bahwa
di dalam hatinya tidak ada perasaan takut pada Allah dan tidak pula ada
ketaqwaan (pada-Nya). Dia laki-laki culas”.
Bahkan dia
menyatakan bahwa mereka yang melawan Ali bin Abi Thalib RA mati dalam keadaan
mati jahiliyyah[10]. Dia juga mencela para ulama’ terkemuka panutan umat. Dia
menggelari al-Muarrikh al-Kabir Imam al-Hafidz adz-Dzahabi dengan khabits
(durjana)[11]. Dia berkata:
واذا قيل عن الذهبي خبيث فهو في محله
“Apabila
dikatakan bahwa adz-Dzahabi itu durjana, sudah pada tempatnya”.
Syeikh Abil Iz al-Hanafi dia diskripsikan sebagai Jahmi, sesat dan kafir[12].
Pada majalah resmi mereka, Manarul Huda, disebutkan bahwa al-Muhaddith Syeikh
Abdullah al-Harari dan muridnya mengkafirkan Ibnu Taimiyyah dan Sayyid
Quthub[13].
Kedua, pendapat dan fatwa ‘nyleneh’ Abdullah al-Harari
dan Firqah al-Ahbasy. Al-Habasyi menyatakan bahwa al-Qur’an itu adalah ibarah
dari Kalamullah yang majazi sifatnya[14]. Padahal umat Sayyidina Muhammad SAW
baik muda maupun tua tahu bahwa al-Qur’an itu Kalamullah yang hakiki[15].
Al-Habasyi
meyakini, bahwa Allah SWT tidak berkuasa atas segala sesuatu, Allah hanya
berkuasa atas kebanyakan sesuatu[16]. Al-Habasyi juga mengklaim bahwa sungguh
Allahlah yang memberikan i’anah pada orang kafir untuk menjadi kafir[17]. Dia
juga memfatwakan kebolehan men-tasharuf-kan zakat untuk diberikan pada anaknya
sendiri yang sudah baligh[18]. Padahal kaum Muslimin Ahlu as-Sunnah wa
al-jama’ah sepakat ketidakbolehan men-tasharruf-kan zakat untuk pokok dan
cabang (yang dimaksud dengan pokok dalam Kaedah Ushul adalah Bapak dan Ibu
keatas, sedangkan cabang adalah anak ke bawah).
Bukan hanya
itu, al-Harari juga menguatkan hadits-hadits dha’if serta maudhu’ untuk
mendukung “madzhabnya” dan mendha’ifkan banyak sekali hadits shahih yang tidak
mendukung “madzhabnya”. Sikap ini tervisualisasi dengan sangat gamblang dalam
bukunya al-Maulid an-Nabawi[19].
Ketiga, Fatwa ulama’ terhadap Abdullah al-Harari dan
Firqah al-Ahbasy. Sikap resmi Jami’ah al-Azhar asy-Syarif Mesir terhadap firqah
al-Ahbasy.
Ketika firqah
al-Ahbasy mengklaim ada MOU dengan Universitas al-Azhar untuk mendirikan cabang
di Lebanon, Dr Umar Hasyim sebagai Rais Jami’ah al-Azhar mengirim surat pada kantor
Rabithah Alam Islami dan menegaskan bahwa: (1) firqah al-Ahbasy tidak iltizam
secara total pada al-Qur’an dan as-Sunnah dan fihak al-Azahar menyatakan tidak
ada hubungan apapun dengan mereka.(2) Bahwa informasi adanya MOU antara
al-Azhar dan Firqah al-Ahbasy untuk mendirikan cabang al-Azhar di Lebanon
adalah tidak benar[20]. Inilah risalah lengkap Dr Umar Hasyim[21]:
بسم الله الرحمن الرحيم السلام عليكم ورحمة
الله وبركاته. وبعد: فقد أخبرني بما نمى إليكم من وجود تعاون بين جامعة الأزهر وبين من يسمون
بالأحباش في لبنان. وحيث أنني لم أزر لبنان إلا منذ
عامين،
وقد تعرضت
أثناء هذه الزيارة لمحاولات التأثير من جانب بعض
الجهات، عندما قُدِّمَتْ
إليّ مذكرة كمشروع اتفاقية للتوقيع عليها، وبعد
أن عرفت من سفير مصر في لبنان
وبعض الجهات الأخرى عدم سلامة هذه الجمعية
وعدم مصداقيتها وعدم سلامة
تفكيرها قطعنا العلاقة بهم وألغينا كل ما طلبوه،
ولم تعد بيننا وبينهم أية
علاقة، وليس بين جامعة الأزهر وبينهم أي
صورة من صور الإعتراف أو التعاون،
وكل الأوراق التي تفيد غير ذلك لا أساس
لها من الصحة. ولهذا يسرني أن
أفيدكم بعدم صحة ما نسب إلينا أو إلى جامعة
الأزهر. نحن نرفض كل محاولات
استغلال اسم جامعة الأزهر العريقة من
قبل الهيئات أو الجمعيات التي لا تلتزم
التزاما كاملا وواضحا بالقرآن
الكريم والسنة النبوية الشريفة. وتقبلوا خالص
تحياتي واحترامي؛ والسلام عليكم
ورحمة الله وبركاته؛ أخوكم الدكتور أحمد
عمر هاشم – رئيس جامعة الأزهر.
كتب الدكتور أحمد عمر هاشم الخطاب يوم
الثلاثاء بتاريخ: (9 جمادى الآخرة
1422 هـ الموافق 28 أغسطس 2001 م) وتم إرساله بالفاكس الى مكتب مدير
رابطة العالم الإسلامي يوم الإثنين
بتاريخ: (15 جمادى الآخرة 1422هـ الموافق 3 سبتمبر2001 م) الساعة الواحدة
وأربعون دقيقة بعد الظهر.
Fatwa, Hai’ah
Kibar al-Ulama’ Saudi Arabia, tentang Abdullah al-Harari al-Habasyi dan Firqah
al-Ahbasy. Fatwa nomor 19606. Berikut kutipannya[22]:
فإن اللجنة تقرر ما يلي:
1- أن جماعة الأحباش فرقة ضالة، خارجة عن جماعة المسلمين (أهل السنة والجماعة)،
وأن الواجب عليهم الرجوع إلى الحق الذي كان عليه الصحابة والتابعون في جميع أبواب الدين في العمل والاعتقاد، وذلك
خير لهم وأبقى.
2- لا يجوز الاعتماد على فتوى هذه الجماعة؛ لأنهم يستبيحون التدين بأقوال شاذة، بل
ومخالفة لنصوص القرآن والسنة، ويعتمدون الأقوال
البعيدة الفاسدة لبعض النصوص
الشرعية، وكل ذلك يطرح الثقة بفتاويهم والاعتماد
عليها من
عموم المسلمين.
3- عدم الثقة بكلامهم على كل مكان الحذر
والتحذير
من هذه
الجماعة الضالة، ومن الوقوع في حبائها تحت أي اسم أو شعار،
واحتساب
النصح
لأتباعها والمخدوعين بها، وبيان فساد أفكارها وعقائدها
Fatwa diatas
menegaskan bahwa: (1) kelompok al-Ahbasy firqah yang sesat, keluar dari
jama’atul Muslimin dan wajib kembali pada yang haq, (2) Tidak boleh berpegang
pada fatwa kelompok ini, (3) tidak percaya terhadap apa yang mereka katakan.
Masih banyak fatwa ulama’ Ahlu as-Sunnah wal Jama’ah yang lain yang menegaskan
sesatnya Abdullah al-Harari dan Firqah al-Ahbasy.
Selain itu,
Firqah ini juga menghalalkan semua cara untuk meraih tujuan mereka. Buktinya
antara lain, untuk mendongkrak popularitas Syeikh mereka, mereka mengklaim
bahwa Abdullah al-Harari adalah Mufti Ethiopia[23]. Komunitas Muslim Ethiopia
di Norwegia menegaskan bahwa klaim tersebut bohong[24]. Saat Abdullah al-Harari
berkunjung ke Norwegia, dia sempat diajak bicara dengan bahasa Ethiopia oleh
komunitas Muslim Ethiopia disana. Dia sama sekali tidak mengerti. Bagaimana
mungkin Mufti Ethiopia tidak mengerti bahasa Ethiopia? Komunitas Muslim
Ethiopia tersebut juga menegaskan bahwa di Ethiopia tidak ada Mufti. Mereka
tidak mengenal Abdullah al-Harari, mereka hanya mengenal Syeikh Syarif Abdu
an-Nur[25]. Mereka juga menggelari syeikh mereka dengan gelar-gelar yang ‘tidak
patut’ disandang oleh Abdullah al-Harari. Misalnya meraka menyebut Abdullah
al-Harari dengan al-Hafidz al-Abdari[26]. Tentu dengan harapan agar masyarakat
menyangka bahwa Abdullah al-Harari termasuk Ulama’ kenamaan di bidang Hadits
layaknya al-Hafidz an-Nawawi atau al-Hafidz Ibn Hajar.
Dengan data
singkat diatas, dan tentu masih banyak lagi, rasanya gharib kalau kita
menjadikan Abdullah al-Harari atau buku-buku yang dia tulis sebagai ma’khadz
apalagi sebagi panutan.
Selanjutnya bi at-Tafsil kita kaji tiap maudhu’:
1. Masalah Pengangkatan Khalifah
Di situs PP
Nurul Huda dikatakan: “ Di antara kesesatan Hizbuttahrir dan bukti menyempalnya
kelompok ini dari mayoritas umat Islam adalah pernyataan mereka bahwa orang
yang meninggal dengan tanpa membaiat seorang kholifah maka matinya adalah mati
jahiliyah. Artinya menurut mereka matinya orang tersebut laksana matinya
orang-orang penyembah berhala. Berarti menurut mereka, dalam kurun waktu 100
tahun terakhir, seluruh orang muslim yang meninggal, matinya dalam keadaan mati
jahiliyah, sebab sejak saat itu dunia Islam vakum dari khalifah. Sementara
Khilafah Islamiyah tertinggi yang mengurus seluruh keperluan umat Islam
terputus sejak lama. Umat Islam yang pada masa sekarang tidak mengangkat
kholifah, mereka sesungguhnya mempunyai udzur (alasan yang diterima). Yang
dimaksud umat Islam disini adalah rakyat, karena terbukti rakyat tidak memiliki
kemampuan untuk mendirikan khilafah dan mengangkat seorang khalifah. Lantas
berdosakah mereka jika memang tidak mampu? Bukankah Allah Ta’ala berfirman:
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها (البقرة: 268)
“Allah tidak
membebankan terhadap satu jiwa kecuali apa yang ia sanggup melakukanya”. (Q.S.
Al Baqoroh 268)
Pertama, tentang pengertian hadits. Pemahaman penulis
terhadap hadits diatas senada yang dinyatakan oleh penulis al-Gharrah:
هذه العبارات من
جملة تحريفهم للكلم عن مواضعه فإن الحديث
رواه مسلم عن ابن عمر بهذا
اللفظ: «من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة
لاحجة له، ومن مات وليس في
عنقه بيعة مات ميتتة جاهلية» فهم يذكرون منه
للناس الجملة الأخيرة
فيكررون «من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتتة جاهلية»
مع إيهامهم
أن ذلك لمن لم
يتكلم معهم في أمر الخليفة كما هم يتكلمون
بألسنتهم. ومعنى الحديث ليس
كما يزعمون إنما المعنى أن من تمرد على الخليفة
واستمر على ذلك إلى الممات
تكون ميتته ميتتة جاهلية، كما يدل على ذلك حديث مسلم
عن ابن
عباس عن النبي e: «من كره من أميره شيئا فليصبر فإنه ليس أحد من الناس خرج من السلطان
شبرا فمات عليه إلا مات ميتتة جاهلية». فقوله: «فمات
عليه» صريح في أن الذي يموت ميتتة جاهلية هو الذي يأتيه الموت وهو متمرد على السلطان..
فتبين بطلان قولهم وتمويههم وغرضهم التشويش على المسلمين حتى يتبعوهم وبايعوا زعيمهم تقي الدين النبهاني الذي ادعى
الخلافة
وبايعه جماعته على ذلك.
[Kalimat
ini merupakan bagian dari pemutarbalikan kata dari konteksnya, karena hadits
tersebut diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn 'Umar dengan redaksi, "Siapa
saja yang melepaskan diri dari ketaatan, maka di Hari Kiamat kelak dia akan
menghadap Allah tanpa mempunyai alasan. Siapa saja yang mati, sementara di atas
pundaknya tidak ada bai'at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah." Mereka
menyampaikan hadits tersebut kepada masyarakat, dan mengulang-ulang bagian,
Siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada bai'at, maka dia
mati dalam keadaan jahiliyah." dengan asumsi mereka, bahwa itu berlaku
untuk siapa saja yang tidak membahas masalah khalifah dengan mereka,
sebagaimana yang selalu diungkapkan oleh mulut mereka.
Padahal, makna
hadits tersebut tidak seperti yang mereka asumsikan. Maknanya tak lain adalah
siapa saja yang melawan khalifah, dan tetap seperti itu hingga mati, maka
kematiannya adalah mati jahiliyah. Itu persis seperti yang ditunjukkan oleh
hadits Muslim dari Ibn 'Abbas dari Nabi saw. yang menyatakan, "Siapa saja
yang tidak menyukai sesuatu pada amirnya, hendaknya bersabar. Sebab, tak ada
seorang pun yang melepaskan diri dari kekuasaan, meski hanya sejengkal, kecuali
dia mati dalam keadaan mati jahiliyah."
Pernyataan Nabi, "Mati dalam keadaan mati
jahiliyah." Menjelaskan, bahwa orang yang mati dalam keadaan jahiliyah
adalah orang yang dijemput kematian, sementara dia tetap membangkang dari
penguasa.
Maka, nyata kebatilan pandangan mereka, penyelewengan
dan tujuan mereka untuk membingungkan kaum Muslim hingga mereka mengikutinya
dan membai'at pemimpin mereka, Taqiyuddin an-Nabhani, yang telah mengklaim
jabatan khilafah dan dibai'at oleh jamaahnya.[27]
Bantahan:
Dengan menyandarkan pada hadits:
«مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa
yang melepaskan (tangan) dirinya dari ketaatan, maka (dia) akan berjumpa dengan
Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan barangsiapa mati sementara di
atas pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya dalam keadaan jahiliyah.
Penulis
al-Gharrah, para pengikutnya dan yang sefaham dengan dia mengatakan, bahwa (yang
dimaksud dengan) mati jahiliyah itu hanya berlaku untuk orang yang melawan
penguasa, jika dia dijemput oleh kematian, sementara dia tetap seperti itu.
Mereka yang mengatakan itu lupa atau sengaja pura-pura lupa, bahwa lafadz yang
berbentuk umum (shiyagh al-’umum) menunjukkan hukum yang bersifat umum. Pada
bagian kedua hadits tersebut terdapat lafadz umum, yaitu: man yang menunjukkan
lafadz umum, lalu kata bai’atun yang berbentuk nakirah munafiyah, juga termasuk
lafadz umum. Jadi keumuman hadits tersebut adalah perkara yang sangat jelas.
Imam asy-Syirazi berkata[28]:
فصل وألفاظه أربعة أنواع أحدها
إسم الجمع إذا عرف باللأف
النبي واللام كالمسلمين والمشركين والأبرار
والفجار وما أشبه ذلك وأما
المنكر منه كقولك مسلمون ومشركون وأبرار وفجار
فلا قتضي العموم ومن أصحابنا
من قال هو للعموم وهو قول أبي علي الجبائي
والدليل على فساد ذلك أنه نكرة
فلم يقتض الجنس كقولك رجل ومسلم فصل
والثاني إسم الجنس إذا عرف بالألف
واللام كقولك الرجل والمسلم ومن أصحابنا
من قال هو للعهد دون الجنس والدليل
على أنه للجنس قوله عز وجل والعصر إن الإنسان
لفي خسر. والمراد به الجنس ألا ترى أنه استثنى منه الجمع فقال إلا الذين آمنوا وتقول العرب أهلك الناس الدينار والدرهم ويريدون الجنس فصل والثالث الأسماء المبهمة وذلك من فيمن بعقل وما فيما لا يعقل في الاستفهام والشرط والجزاء تقول في الاستفهام من عندك وما عندك وفي الجزاء تقول من أكرمني أكرمته ومن جاءني رفعته وأي فيما يعقل وفيما لا يعقل في الاستفهام وفي الشرط والجزاء تقول في الاستفهام أي شئ عندك وفي الشرط والجزاء أي رجل أكرمني أكرمته وأين وحيث في المكان ومتى في الزمان تقول اذهب اين
شئت وحيث شئت واطلبني متى شئت فصل
والرابع النفي في النكرات تقول ما عندي
شئ ولا رجل في الدار
Di dalam kitab
diatas, Imam asy-Syirazi menegaskan bahwa lafadz-lafadz yang menunjuk pada
makna umum ada empat. Antara lain, asma’ al-mubhamah dan an-nafi fii an-nakirat
(huruf nafi yang masuk pada isim nakirah). Maka siapapun yang mengerti bahasa
Arab dan istinbath tentu akan mengetahui bahwa kalimat:
«وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ
مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Dan
barangsiapa mati sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya
dalam keadaan jahiliyah.”
Adalah berbentuk
umum. Artinya apabila khalifah ada, seorang Muslim wajib berbaiat, dan dalam
keadaan tidak adanya Khalifah seorang Muslim harus melakukan aktivitas yang
bisa mewujudkannya. Disamping itu, mafhum dari hadits tersebut juga menyatakan
demikian, yakni nash tersebut menyatakan wajibnya membaiat Khalifah yang jika
tidak dilakukan, maka dia akan mati dalam keadaan jahiliyah. Ini merupakan
dalil (penunjukkan) yang jelas, bahwa jika tidak ada (Khalifah), maka wajib
menjalankan aktivitas untuk mewujudkannya.
Karena itu,
penyesatan terhadap makna hadits tersebut dimaksudkan untuk mengacaukan kaum
Muslim agar kaum Muslim tidak beranjak menjalankan aktivitas untuk mewujudkan
Khalifah dan membai’ahnya supaya tidak mati dalam keadaan jahiliyah.
Selanjutnya, penulis tersebut menegaskan, artinya
menurut mereka matinya orang tersebut laksana matinya orang-orang penyembah
berhala. Berarti menurut mereka, dalam kurun waktu 100 tahun terakhir, seluruh
orang muslim yang meninggal, matinya dalam keadaan mati jahiliyah.
Afdhal, sebelum
kita bahas hal tersebut, kita perhatikan pendapat para ulama’ tentang wajibnya
imamah atau khilafah. Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz an-Nawawi berkata[29]:
الفصل الثاني
في وجوب الإمامة وبيان
طرقها لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية …
“Pasal
kedua tentang wajibnya imamah (khilafah) dan pejelasan metode-metodenya. Adalah
merupakan suatu keniscayaan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan
menolong/ memenangkan as-Sunnah serta menolong yang didzalimi dan menunaikan
hak-hak serta menempatkan hak tersebut pada tempatnya. Saya tegaskan, kata Imam
an-Nawawi, bahwa pengangkatan imamah adalah fardhu kifayah…”.
Imam al-Hafidz an-Nawawi menegaskan bahwa pengangkatan imam adalah fardhu
kifayah. Lalu apa pengertian fardhu kifayah? Imam asy-Syirazi menjelaskan[30]:
فصل إذا ورد الخطاب بلفظ العموم دخل فيه كل من صلح له الخطاب ولا يسقط ذلك الفعل عن بعضهم بفعل البعض إلا فيما ورد الشرع به وقررة تعالى أنه فرض كفاية كالجهاد
وتكفين الميت والصلاة عليه ودفنه فإنه إذا أقام به من يقع به الكفاية
سقط عن الباقين
”
fashal. Apabila terdapat khitab dengan lafadz umum maka masuk di dalamnya siapa
saja yang kitab tersebut visible baginya dan perbuatan tersebut tidak gugur
atas sebagian karena perbuatan sebagian (yang lain), kecuali atas apabila
syara’ datang di dalamnya, dan Allah menetapkan bahwa khitab tersebut adalah
fardhu kifayah. Seperti jihad, mengkafani jenazah, menshalatkan dan menguburkannya.
Maka apabila kwajiban tersebut telah selesai ditunaikan (disini Imam sy-Syirazi
menggunakan ungkapan “aqaama”, bukan “qaama”; dalam bahasa arab kata “aqaama”
artinya adalah “ja’alahu yaqumu”[31]) oleh siapa saja yang mampu, gugurlah
(kwajiban) tersebut atas yang lain”. Inilah Fardhu
Kifayah.
Alhasil,
gharib-kah kalau Hizbut Tahrir berpendapat bahwa menegakkan khilafah itu wajib,
yang salah satu dalilnya adalah hadits bai’ah serta menegaskan bahwa kwajiban
tersebut berlaku bagi seluruh kaum Muslimin? Bukankah fardhu kifayah yang
difahami para ulama’ antara lain Imam asy-Syirazi adalah selama kwajiban
tersebut belum tertunaikan, maka seluruh kaum Muslimin tetap terbenani taklif
tersebut sampai kaum Muslim selesai menunaikannya?
Selanjutnya penulis, sembari berkontemplasi
menyimpulkan, “artinya menurut mereka matinya orang tersebut laksana matinya
orang-orang penyembah berhala. Berarti menurut mereka, dalam kurun waktu 100
tahun terakhir, seluruh orang muslim yang meninggal, matinya dalam keadaan mati
jahiliyah”. Matinya laksana matinya penyembah berhala? Seakan-akan Hizbut
Tahrir yang menyatakan hal tersebut. Padahal itu adalah kesimpulan penulis
sendiri. Hizbut Tahrir tidak pernah mengatakan hal tersebut. Hizbut Tahrir
bari’un min hadzal qaul. Hizbut Tahrir hanya menegaskan apa yang terdapat dalam
hadits.
Benarkah pengertian “maata mitatan jahiliyyatan” itu
mati layaknya penyembah berhala? Imam as-Sindi menjelaskan[32]:
وَالْمُرَاد مَاتَ كَمَا يَمُوت أَهْل الْجَاهِلِيَّة
مِنْ الضَّلَال وَلَيْسَ الْمُرَاد الْكُفْر …
“….
Dan yang dimaksud adalah mati sesat layaknya matinya ahli jahiliyah, tapi yang
dimaksud bukan kufur …”
Imam al-Hafidz an-Nawawi menjelaskan[33]:
أَيْ : عَلَى صِفَة مَوْتهمْ مِنْ حَيْثُ هُمْ فَوْضَى
لَا إِمَام لَهُمْ
“Artinya: seperti
sifat matinya mereka (ahli Jahiliyah) ditinjau dari sisi bahwa mereka kosong
tanpa imam “.
Jadi pengertian “mata mitatan jahiliyyah” itu bukan
mati kafir, tapi mati dalam keadaan tersesat, dan mereka mati dalam kedaan
kosong tanpa imam.
Kedua, tentang pengertian
isthitha’ah (kemampuan), penulis menyatakan: “… Umat Islam yang pada masa
sekarang tidak mengangkat khalifah, mereka sesungguhnya mempunyai udzur (alasan
yang diterima). Yang dimaksud umat Islam disini adalah rakyat, karena terbukti
rakyat tidak memiliki kemampuan untuk mendirikan khilafah dan mengangkat
seorang khalifah. Lantas berdosakah mereka jika memang tidak mampu?
Sebelum mengkaji lebih jauh, akan sangat baik jika
kita cermati pengertian firman Allah SWT:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا (البقرة
:286)
Imam al-Hafidz
Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim menjelaskan[34]:
وقوله “لا يكلف الله نفسا إلا وسعها” أي لا يكلَّف أحد
فوق طاقته
…
” … dan
firman-Nya “ لا يكلف الله
نفسا إلا وسعها ” adalah bahwa tidak dibebankan
pada seseorang melebihi kemampuannya”.
Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an menjelaskan secara panjang lebar sebagai berikut[35]:
التكليف هو الأمر بما
يشق عليه وتكلفت الأمر تجشمته; حكاه
الجوهري. والوسع: الطاقة
والجدة. وهذا خبر جزم. نص الله تعالى على أنه لا
يكلف العباد من وقت نزول
الآية عبادة من أعمال القلب أو الجوارح إلا
وهي في وسع المكلف وفي مقتضى
إدراكه وبنيته; وبهذا انكشفت الكربة عن
المسلمين في تأولهم أمر الخواطر.
“Taklif
itu adalah perintah untuk hal-hal yang memberatkan padanya dan (ungkapan) suatu
perintah itu membebani artinya bahwa perkara tersebut telah membebaninya.
Itulah yang dikemukakan oleh al-Jauhari. Sedangkan al-wus’u adalah kemampuan
dan kesungguhan. Ini adalah informasi yang sifatnya pasti. Allah Ta’ala
menegaskan bahwa Allah tidak mentaklifkan hamba sejak turunnya ayat tersebut
dengan ibadah baik yang merupakan aktifitas hati atau anggota tubuh kecuali
dalam batas kemampuan seorang mukallaf dan dalam lingkup pengetahuan serta
niatnya. Dengan ayat ini terangkatlah kesusahan atas kaum Muslimin dalam
menjelaskan hal-hal yang membahayakan”.
Dua mufassir
terkemuka diatas telah memaparkan pada kita dengan sangat gamblang apa
pengertian ayat 286 dari Surah al-Baqarah diatas. Benar bahwa Allah telah
menegaskan binashshin sharih bahwa Dia tidak akan mentaklifkan pada hamba-Nya
perkara yang diluar kemampuannya. Pada ayat 16 dari Surah at-Taghabun Allah SWT
memerintahkan kita untuk bertaqwa sesuai dengan isthitha’ah kita. Allah
berfirman:
فاتقوا الله ماستطعتم… (التغابن: 16)
Al-hafidz Ibnu Katsir menjelaskan[36]:
وقوله تعالى “فاتقوا الله ما استطعتم” أي جهدكم وطاقتكم كما ثبت في الصحيحين عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إذا أمرتكم بأمر فائتوا منه ما استطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه”
”
Dan firman-Nya Ta’ala ” ” maksudnya adalah dengan kesungguhan dan kemampuan
kalian, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam dua kitab shahih dari Abi
Hurairah RA, dia berkata: bahwa Rasulullah SAW: ” apabila aku perintahkan
kalian dengan suatu perintah maka tunaikan berdasarkan kemampuan kalian,
sedangkan perkara yang aku larang untuk kalian maka jauhilah … “.
Inilah yang
telah ditegaskan Allah SWT atas kita, Allah tidak akan mentaklifkan suatu
kwajiban yang diluar kemampuan kita. Pertanyaannya adalah, apakah mengangkat
seorang khalifah untuk menerapkan hukum Allah itu kwajiban yang diluar
kemampuan kita? Memang kalau kwajiban tersebut hanya dilaksanakan oleh
individu-individu kaum Muslimin, tentu akan melampaui batas kemampuan mareka.
Tapi kita harus ingat bahwa kwajiban mengangkat seorang Imam atau khalifah
tersebut adalah kwajiban yang sifatnya wajib kifa’i, sebagaimana ditegaskan
oleh Imam an-Nawawi diatas. Artinya selama kwajiban tersebut belum tertunaikan
maka kwajiban mengangkat seorang khalifah tetat dibebankan atas seluruh kaum
Muslimin. Adalah Imam Saifuddin al-Amidi, antara lain, yang menjelaskan bahwa
dari segi kwajiban sebenarnya fardhu ‘ain dan kifayah sama. Beliau
menegaskan[37]:
المسألة
الثانية لا فرق عند أصحابنا بين واجب العين، والواجب على الكفاية من جهة الوجوب، لشمول
حد الواجب لهما
”
masalah yang ke dua. Tidak ada perbedaan (menurut ashab kita) antara wajib ain
dan wajib kifayah. Dari sisi kwajiban. Karena keutuhan batas kwajiban atas
keduanya”.
Jadi kwajiban
menegakkan khilafah adalah kwajiban kita semua kaum Muslimin. Tidak
sungguh-sungguh untuk menegakkan khilafah, tanpa udzur syar’i, secara syar’i
terkategorikan sebagai penelantaran kwajiban yang dibebankan Allah atas kita.
Apatah lagi diam, menghambat atau bahkan melawan perjuangan tersebut.
Khulashatul qaul kwajiban mengangkat seorang Imam atau
khalifah adalah fardhu bagi seluruh kaum Muslimin, dan yang mengabaikan hal
tersebut tanpa udzur syar’i berdosa.
2.
Masalah Qadha’ dan Qadar
Di situs PP
Nurul Huda dicantumkan “Lebih sesat lagi, Hizbuttahrir menyatakan bahwa seorang
hamba adalah pencipta perbuatannya yang ikhtiari (dilakukan atas dasar
kemauanya). Sementara hanya perbuatanya yang bersifat idlthirari (perbuatan
yang di luar inisiatifnya seperti detak jantung, takut, menggigil karena dingin
dan lain-lain) yang diciptakan oleh Allah”
Hal yang sama
juga dilontarkan oleh penulis buku al-Gharrah al-Imaniyah. Ketika menolak
pendapat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah
juz I tentang qadha’ dan qadar, Abdullah al-Harari menyatakan:
وهذه الأفعال
ـ أي أفعال الإنسان ـ لا دخل لها بالقضاء ولادخل للقضاء بها، لأن الإنسان هو الذي قام بها بإرادته واختياره وعلى ذلك فإن
الأفعال الإختيارية لاتدخل تحت القضاء)
[Perbuatan-perbuatan
ini ---maksudnya perbuatan manusia--- tidak termasuk dalam kategori qadha', dan
qadha' pun tidak mempunyai ruang di sana, karena manusialah yang melakukannya
dengan kehendak dan pilihannya. Karena itu, perbuatan yang bisa dipilih tidak
termasuk dalam wilayah qadha'] yang diikuti dengan kutipan berikutnya dari
kitab Nidzam al-Islam, yang menyatakan:
(فتعليق
المثوبة أو العقوبة بالهدي والضلال يدل على أن الهداية والضلال هما من فعل العبد
وليسا من الله)
[Maka,
dikaitkannya pahala dan dosa dengan petunjuk dan kesesatan, membuktikan bahwa
petunjuk dan kesesatan tersebut merupakan buah dari perbuatan manusia, bukan
dari Allah] dengan menyatakan:
(الرد: هذا
الكلام مخالف للقرآن والحديث وصريح العقل، إلخ)
[Sanggahan: Peryataan
ini bertentangan dengan al-Qur'an, al-Hadits dan logika yang jelas, dan
seterusnya][38]
Bantahan
Sebelum
mengkaji lebih dalam atas apa yang disampaikan oleh penulis tersebut tentang
qadha’ dan qadar serta hidayah dan dhalalah, ada baiknya kita perhatikan sikap
generasi terbaik dari umat ini, generasi para shahabat Nabi SAW tentang masalah
keimanan, termasuk qadha dan qadar, dan masalah hukum. Sikap mereka RA
didiskripsikan secara sangat visual oleh al-Hafidz Ibnu al-Qayim al-Jauziyyah
sebagai berikut[39]:
وقد تنازع الصحابة
فى كثير من مسائل الاحكام, وهم سادات
المؤمنين واكمل الامة ايمانا, ولكن
بحمد لله لم يتنازعوا فى مسألة واحدة
من مسائل الأسماء والصفات
والأفعال, بل كلهم على اثبات ما نطق به الكتاب
والسنة كلمة واحدة, من اولهم الى
آخرهم, لم يسموها تأويلا ولا يحرفون عن
مواضعها تبديلا, ولم يبدوا الشيئ
منها ابطالا, ولا ضربوا لها امثالا. ولم
يدفعوا لها امثالا. ولم يدفعوا فى
صدورها ولم يقل احد منهم يجب صرفها عن
حقائقها وحملها على مجازها بل
تلقوه بالقبول والتسليم وقابلوها بالأيمان
والتعظيم وجعلوا الامر فيها
كلها امرا واحدا واجروها على سنن واحد …
“…
Dan sungguh para Shahabat telah berbeda pendapat dalam banyak masalah hukum,
padahal mereka adalah penghulu orang-orang Mukmin serta (bagian dari umat) yang
paling sempurna imannya. Tapi, bi hamdulillah, mereka tidak berselisih pada
satupun masalah yang berkaikan dengan nama-nama (Allah), sifat serta
perbuatan-perbuatan (Allah). Mereka semua menetapkan secara bulat sebagaimana
yang diungkapkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah, dari awal sampai akhir. Mereka
tidak menyebut tentang takwil dan tidak pula memalingkan (makna) dengan
mengganti (maknanya). dan mereka tidak menunjukkan sesuatu untuk dibatalkan,
dan mereka juga tidak membuat tamsil serta tidak terdorong untuk membuat
tamsil. Bahkan tidak satupun dari mereka yang termotifasi dirinya dan tidak
seorangpun dari mereka yang menyatakan bahwa wajib untuk memalingkan (ayat-ayat
mutasyabihat) dari (makna) hakikinya dan mengalihkan pada makna majaz, bahkan
mereka men-talaqqi-kan dengan penuh penerimaan dan penuh kepasrahan, serta
menerimanya dengan (penuh) keimanan dan sikap mengagungkan. Mereka menjadikan
perkara tersebut secara keseluruhan sebagai satu masalah yang sama dan mereka
menjaganya dengan cara yang sama…”
Inilah sikap
Shahabat terhadap masalah aqidah dan hukum. Mereka berbeda pendapat dalam
banyak hal yang berkaitan dengan hukum. Tapi dalam masalah sifat, asma’ dan perbuatan
Allah SWT, sama sekali tidak ada perbedaan pendapat. Tidak ada riwayat, baik
ahad apalagi mutawatir, bahwa para Shahabat berbeda pendapat dalam masalah
asma’, sifat, atau perbuatan Allah SWT.
Sayangnya
akibat pengaruh ilmu Kalam, kaum Muslimin tidak hanya berbeda dalam masalah
hukum, tapi mereka juga berbeda pendapat dalam masalah akidah. Mu’tazilah
berpendapat bahwa manusia adalah pencipta atas perbuatan mereka sendiri,
sedangkan Jabariyah melihat menusia dalam berbuat layaknya gerakan pohon yang
tertiup angin[40]. Seakan-akan perbedaan dalam masalah akidah ini layaknya
perbedaan dalam masalah hukum yang sifatnya ijtihadi[41]. Padahal “Qadhiyyah”
masalah akidah terkait dengan iman dan kafir. Perbedaan dalam masalah akidah
tentu akan sangat rawan untuk saling mengkafirkan atau saling menyesatkan
diantara kaum Muslimim.
Bahkan
penggunaan kata al-jabr, yang lazim dipakai dalam perdebatan Ilmu kalam,
sebagai lawan dari kata al-ikhtiar tidak terdapat dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah. Karena secara bahasa penggunaan kata al-Jabr dan al-Ijbar adalah
untuk suatu yang dikerjakan oleh al-Majbur (yang dipaksa), yang sebenarnya dia
tidak menyukainya. Seperti seorang bapak memaksa anaknya untuk menikah. Maka
makna yang seperti itu tentu harus dinafikan apabila dinisbahkan pada-Nya.
Sungguh Allah tidak menciptakan perbuatan hamba yang sifatnya ikhitiari tanpa
ikhtiar hamba. Bahkan Dialah yang menjadikan hamba mukhtaran (mampu memilih).
Oleh karena itu para ulama’ salaf berkata, sungguh Maha Agung Allah dan Maha
Gagah dari memaksa (hamba). Allah lah yang menjadikan hamba mampu memilih dan
tidak memerlukan paksaan-Nya. Oleh karena itu Imam al-Auza’i, ats-Tsauri, dan
yang lain menggunakan kata jabala (yang padan katanya adalah khalaqa
(menciptakan) dan shawwara (membentuk), bukan jabara[42].
Karena itu,
setelah mengkaji secara jernih dan mendalam, dapat disimpulkan bahwa perbedaan
pendapat yang terjadi diantara kaum Muslim terhadap asma’, sifat-sifat, serta
perbuatan-perbuatan Allah SWT adalah merupakan konsekuensi kajian akidah yang
menggunakan Manhaj al-Mutakallimin. Dalam kitab asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah
juz I, Hizbut Tahrir memaparkan ketidaktepatan Ilmu Kalam sebagai manhaj
al-bahts dalam akidah, serta seruan untuk kembali pada manhaj al-Qur’an[43].
Dan perlu dicatat, bahwa kritik atau bahkan penolakan tehadap Ilmu Kalam bukan
hal baru. Banyak ulama’ terkemuka yang menolak keras ilmu Kalam. Misalnya Imam
asy-Syafi’I RA[44] dan Imam Ahmad bin Hambal RA.[45]
Harapannya, kaum Muslimin sadar bahwa karena pengaruh
Ilmu Kalam dalam kajian akidah lah yang mengakibatkan adanya ‘ikhtilaf’
layaknya fiqih yang dzanni sifatnya. Padahal hal tersebut tidak terjadi pada
masa generasi terbaik Islam, generasi para Shahabat. Bukankah generasi terbaik
tersebut adalah generasi yang dibina langsung oleh Rasulullah SAW serta
generasi yang menyaksikan secara langsung proses turunya wahyu? Itu yang
pertama.
Kedua, sebagai
akibat logis kajian akidah yang menggunakan ilmu Kalam sebagai manjah al-bahts
adalah terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah akidah. Perbedaan ini adalah
suatu hal yang tidak mungkin dapat dihindari. Contoh kongkritnya adalah
perbedaan antara Mu’tazilah dan Jabariyyah, atau antara Mu’tazilah dengan Ahlu
as-Sunnah. Adalah Imam al-Ghazali, antara lain, yang menjelaskan fenomena
tersebut dan sikap yang tepat untuk menghadapi hal tersebut[46]:
المعتزلة والمشبهة والفرق كلها سوى الفلاسفة، وهم الذين يصدقون ولا يجوزون الكذب لمصلحة وغير مصلحة، ولا يشتغلون بالتعليل لمصلحة الكذب بل بالتأويل ولكنهم مخطئون في التأويل، فهؤلاء أمرهم في محل الاجتهاد. والذي ينبغي أن يميل المحصل إليه الاحتراز من التكفير ما وجد إليه سبيلاً. فإن استباحة الدماء والأموال من المصلين إلى القبلة المصرحين بقول لا إله إلا الله محمد رسول الله خطأ، والخطأ في ترك ألف كافر في الحياة أهون من الخطأ في سفك محجمة من دم مسلم.
“…Adapun
Mu’tazilah, dan musyabbbah serta firqah-firqah (yang lain) selain para filosof,
mereka adalah benar dan tidak boleh mendustakan (mereka) baik karena adanya
kemaslahatan maupun tidak. Dan tidak boleh menyibukkan diri dengan aib karena kemaslahatan
yang bohong, tapi mereka melakukan takwil dan mereka telah melakukan takwil dan
salah. Maka mereka dalam posisi sebagai orang yang melakukan ijtihad. Dan
hendaknya hati-hati untuk mengkafirkan selama masih ada jalan. Karena
sesungguhnya menjadikan boleh untuk (menumpahkan darah) dan harta atas mereka
yang melakukan shalat menghadap kiblat yang mendzahirkan (diri) dengan bacaan ”
tidak ada illah selain Allah” adalah suatu yang salah. Kesalahan dalam
membiarkan orang kafir dalam keadaan hidup adalah lebih ringan dibanding
kesalahan dalam menumpahkan darah seorang muslim yang terjaga”.
Namun karena perbedaan tersebut menyangkut masalah
akidah tidak jarang berakibat pada sikap saling menyesatkan antar kaum Muslimin
satu dengan yang lain. Bahkan tidak jarang saling mengkafirkan.
Berikutnya catatan kami atas tulisan yang terdapat di
situs PP Nurul Huda tentang qadha’ dan qadar.
Pertama, pada
aspek penukilan. Sengaja atau tidak, penulis hanya mengutip sebagian dari
penjelasan Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani, kemudian langsung memvonis sesat dan
seolah-olah beliau berpandangan seperti Mu’tazilah[47]. Padahal, konteks
kalimat tersebut tidak dapat dipisahkan dari kalimat sebelum dan setelahnya,
yang secara utuh justru memberikan pemahaman yang jernih dan cemerlang tentang
qadha’ dan qadar, demikian halnya dengan hidayah dan dhalalah.[48]
Sebelum
mengkaji lebih jauh ada baiknya kita perhatikan pendapat Mu’tazilah tentang
perbuatan hamba. Mu’tazilah berpendapat[49]: “bahwa Mu’tazilah itu secara
keseluruhan menyatakan bahwa hambalah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya
secara mandiri. Maka dialah yang menciptakan perbuatan sekaligus yang
mewujudkannya. Tapi mereka berbeda pendapat dalam masalah karakter-karakter
(sesuatu). Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hambalah yang menciptakan
semua karakter yang dibuat oleh manusia dan dialah yang mewujudkannya. Sebagian
dari mereka membedakan antar karakter satu dengan yang lain. Sebagian
diciptakan hamba dan yang mewujudkannya atas sesuatu dan sebagian yang lain diciptakan
Allah dan Dialah yang mewujudkannya …”
Imam Muhammad
bin Umar bin al-Hasan ar-Razi menegaskan[50]: “ketahuilah bahwa Mu’tazilah itu
secara keseluruhan telah sepakat untuk menafikan sifat-sifat Allah, antara lain
Ilmu dan Qudrah, bahwa al-Qur’an itu baru dan makhluk dan bahwa Allah Ta’ala
bukanlah pencipta atas perbuatan-perbuatan hamba”.
Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani berkata[51]:
وقالت المعتزلة، والنجارية، والجهمية، والروافض: إن أفعال العباد مخلوقة للعباد بقدرة العباد، وإن كل واحد منا ينشىء ما ينشىء ويخلق ما يفعل، وليس لله تعالى على أفعالنا قدرة جملة.
“Muktazilah,
Najariyyah, Jahamiyyah, dan rafidhah berkata: bahwa sesungguhnya perbuatan
hamba itu adalah makhluk bagi hamba, berdasarkan kemampuan hamba. Dan bahwa
setiap orang dari kita mampu mengadakan apa saja yang dia ingin adakan serta
menciptakan apa yang dilakukan. Allah Ta’ala tidak memiliki kekuasaan atas
perbuatan-perbuatan kita secara umum”.
Mu’tazilah kah
Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani yang menyatakan[52]: “…Dengan demikian maka
perbuatan yang sifatnya ikhtiari dikeluarkan dari pembahasan qadha’ dan
qadar. Karena perbuatan-perbuatan manusia ini dihasilkan dari manusia atau oleh
manusia berdasarkan ikhtiar mereka. Dan sesungguhnya Allah ketika menciptakan
manusia serta menciptakan karakter-karakter atas sesuatu dan gharizah serta
kebutuhan jasmani. Allah menciptakan pada diri manusia akal yang membedakan
(baik dan buruk dst) serta Allah menganugrahkan pada manusia ikhtiar untuk
mengerjakan suatu aktifitas atau meninggalkannya.
Allah tidak
mengharuskan manusia untuk mengerjakan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
Dan Allah tidak menjadikan karakter-karaker atas sesuatu serta gharizah dan
kebutuhan jasmani yang mengaharuskan melaksanakan suatu perbuatan atau
meninggalkannya. Oleh Karena itu manusia adalah mukhtaran (bebas memilih) dalam
meninggalkan suatu perbuatan dan mengeliminir perbuatan tersebut darinya,
dengan akal yang mampu membedakan (baik dan buruk dst) yang telah diilhamkan
oleh Allah padanya. Allah menjadikan sebagai manath at-taklif asy-syar’i
(sandaran taklif syar’i). oleh karena itu Allah menjadikan bagi manusia pahala
atas perbuatan yang khair karena dengan akalnya lah dia memilih untuk
melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya, dan
menjadikan sanksi atas pelaksanaan perbuatan syar (buruk) karena akal manusia
memilih untuk menyalahi perintah-perintah Allah dan mengerjakan apa yang
dilarang Allah”.
Sebelum kita
menilai pendapat Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani, mari kita perhatikan pendapat
sebagian ulama’ Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah. Imam al-Qadhi Abu Bakar
al-Baqilani berkata[53]:
اعلم أن مذهب أهل
السنة والجماعة أن الله تعالى هو الخالق
وحد، لا يجوز أن يكون خالق
سواه، فإن جميع الموجودات من أشخاص العباد
وأفعالهم وحركات الحيوانات
قليلها وكثيرها حسنها وقبيحها خلق له تعالى لا خالق
لها غيره؛
فهي منه خلق
وللعباد كسب، على ما قدمنا بيانه بقوله تعالى:
” لها ما كسبت وعليها ما
اكتسبت ” وأمثال هذه الآية من الأدلة على الفرق بين
الخلق والاختراع والكسب، فالواحد منا إذا سمى فاعلاً فإنما يسمى فاعلاً بمعنى أنه مكتسب، لا
بمعنى أنه خالق لشيء.
“ketahuilah
bahwa sesungguhnya madzhab Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah, adalah bahwa Allah
Ta’ala adalah satu-satunya al-khaliq. Tidak boleh ada pencipta selain diri-Nya.
Semua yang ada, baik diri para hamba, perbuatan-perbuatan mereka serta gerakan-gerakan
hewan baik sedikit maupun banyak, buruk dan baiknya adalah milik Allah dan
tidak ada pencipta selain diri-Nya. Maka dari-Nya penciptaan sedangkan untuk
hamba adalah kasb (usaha). Sebagaimana penjelasan terdahulu, bedasarkan
firman-Nya Ta’ala:
” لها ما كسبت وعليها ما اكتسبت “
Serta yang
senada dengan ayat ini, adalah dalil-dalil yang membedakan antara penciptaan,
pembuatan serta usaha. Maka jika salah satu dari kita disebut dengan pelaku,
maka arti sebutan pelaku tidak lain adalah orang yang berusaha, sama sekali
tidak dimaksudkan bahwa dia adalah pencipta atas sesuatu”.
Imam Abu
al-Hasan al-Asy’ari dalam kitab Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin
berkata[54]:
ورأيت منهم من اذا سألوه هل الانسان فاعل في الحقيقة قال هذا كلام على امرين ان اردتم انه خالق في الحقيقة فهذا خطأ وان اردتم انه مكتسب فإذا قالوا له فتقول إنه فاعل بمعنى مكتسب قال ان اردتم انه مكتسب فنعم هو مكتسب …
“dan
menurut saya siapa saja yang apabila mereka bertanya padanya apakah manusia itu
pelaku secara hakiki. Dia berkata: ucapan ini berarti dua. Apabila yang kalian
semua inginkan bahwa dia pencipta (perbuatan) secara hakiki maka itu salah.
Tapi apabila yang kalian inginkan bahwa dia muktasib (orang yang berusaha),
apabila mereka menyatakan padanya maka anda berkata bahwa dia adalah pelaku
dengan pengertian muktasib (orang yang berusaha). Maka dia berkata apabila yang
kalian maksud adalah bahwa dia muktasib maka ya memang dia muktasib …“
Para muhaqqiq
Ahlus Sunnah menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan kemampuan
(qudrah) atas hamba serta kehendaknya dan perbuatannya dan mereka berkata bahwa
sesungguhnya seorang hamba itu subyek atau pelaku atas perbuatannya serta
mengadakan berdasarkan perbuatannya, Allah SWT lah yang menjadikan manusia
sebagai pelaku atas perbuatan dan mengadakan[55].
Syeikh al-Islam
al-Hafidz Ibnu Taimiyyah berkata[56]: ” …Dan ini adalah pendapat kebanyakan
Ahlu as-Sunnah dari semua golongan dan juga pendapat kebanyakan dari ashab
al-Asy’ari seperti Abi Ishaq al-Asfarayani, Imam al-Haramain dan yang lain.
Mereka menyatakan bahwa hamba itu adalah fa’il (subyek/ pelaku) atas
perbuatannya secara hakiki dan baginya ada kemampuan serta ikhtiyar yang
mempengaruhi atas perkara yang telah ditetapkan sebagaimana berpengaruhnya
kekuatan, tabi’at serta sebab, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh syara’
dan akal”.
Dengan
memperhatikan apa yang dikemukakan oleh para Ulama’ diatas, pendapat Syeikh
Taqiyuddin an-Nabhani bukanlah pendapat baru, apalagi menyimpang. Pendapat
Hizbut Tahrir sejalan dengan pendapat para ulama’ Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah.
Kedua, dari
aspek kesalahan penulis dalam menjelaskan masalah qadha’ dan qadar. Penulis
telah mencampuradukkan qadha’ dan qadar dengan masalah qadar. Qadar adalah
merupakan Ilmu Allah yang bersifat azali dan bahwasanya segala sesuatu itu
telah tertulis di Lauh al-Mahfuzh dan bahwa kewajiban seorang Muslim adalah
mengimani qadar, baik buruknya dari Allah Swt. Pengertian qadar yang seperti
itulah yang diriwayatkan oleh Imam al-Hafidz Ibn Bathal dalam kitab syarah
Shahih al-Bukhari[57]:
وروى ابن عباس عن النبى – صلى الله عليه وسلم – أنه قال: « إذا ذكر القدر فأمسكوا » . وقال بلال بن أبى بردة لمحمد بن واسع: ما تقول فى القضاء والقدر؟ فقال:
أيها الأمير، إن الله لا يسأل عباده يوم القيامة عن قضائه وقدره، وإنما
يسألهم عن أعمالهم. وكتب عمر بن عبد العزيز إلى الحسن البصرى: إن
الله لا يطالب خلقه بما قضى عليهم، ولكن يطالبهم بما نهاهم عنه، وأمرهم
به، فطالب نفسك من حيث يطالبك ربك.
“Dan
diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, bahwa beliau berkata: “apabila
disebut tentang al-Qadar, maka kalian semua hendaknya menahan diri”. Bilal bin
Abi Burdah berkata pada Muhammad bin Wasi’, apa pendapat anda tentang al-Qadha’
dan al-Qadar? Maka dia berkata, sesungguhnya Allah tidak akan bertanya pada
hamba-Nya pada hari kiamat tentang Qadha’ dan Qadar-Nya, tapi dia bertanya pada
mereka tentang amal mereka. Umar bin Abdul Aziz menulis (surat) pada al-Hasan
al-Bashri, sesungguhnya Allah tidak menuntut hamba-Nya atas qadha’-Nya atas
mereka, tapi Allah menuntut mereka dengan hal-hal yang Dia larang atas mereka
serta apa yang Dia perintahkan pada mereka. Maka tuntutlah dirimu sesuai dengan
apa yang dituntut oleh Rab anda atas anda”.
Inilah qadar.
Sayangnya penulis tidak membedakan antara (qadar) ini dengan istilah qadha’ dan
qadar yang telah diterjemahkan dari filsafat Yunani. Dalam istilah Yunani
qadha’ dan qadar terkait dengan perbuatan dan karakteristik sesuatu (benda),
dan tidak ada kaitannya dengan manusia, karena ia bersifat (jabran) memaksa.
Karena itu, perbuatan yang bersifat paksaan dan karakteristik benda tersebut
tidak ada hubungannya dengan manusia. Manusia juga tidak akan dihisab tentang
perkara tersebut. Itu juga bukanlah topik yang menyangkut pahala (pahala) dan
siksaan. Itulah adalah fenomena yang ada pada wilayah qadha’ dan qadar menurut
terminologi istilah.
Adapun pahala
dan siksa yang didapatkan manusia, itu karena perbuatan-perbuatannya yang
dijalankan berdasarkan pilihannya. Jika manusia mendapatkan petunjuk untuk
beriman, maka ia memperoleh keridhaan Allah dan mendapatkan pahala. Namun jika
manusia itu tersesat dan memilih kekufuran, dia mendapatkan murka dan adzab
Allah. Perbuatan-perbuatan yang bersifat pilihan, maupun yang bersifat paksaan,
serta sifat-sifat khas pada benda dan segala sesuatu, semuanya itu tidak keluar
dari qadar Allah; sebab qadar itu adalah ilmu Allah dan (seluruhnya) tertulis
di Lauh al-Mahfuzh yang mencakup segala sesuatu.
Ini jelas berbeda dengan istilah qadha’ dan qadar yang
diterjemahkan pada masa Abbasiyah dan yang terkait dengan perbuatan-perbuatan paksaan
(af’âl jabariyah), juga dengan sifat-sifat khas pada benda.
Penulis juga
mencampuradukkan antara pelaksanaan perbuatan dengan penciptaannya. Seakan dia
menyatakan bahwa siapa saja yang mengatakan seseorang yang menjalankan
perbuatannya berdasarkan pilihannya, berarti orang itu telah menciptakan
perbuatannya sendiri. Ini pendapat yang sangat gharib, bukankah pendapat para
ulama’ Ahlu as-Sunnah di atas menegaskan bahwa manusia adalah subyek bagi
perbuatannya sendiri dan dia bertanggung jawab atas yang dia lakukan? Sungguh
tidak ada seorang Muslim pun yang mengatakan, bahwa dia menciptakan sesuatu.
Allah Tabaraka wa Ta’ala lah satu-satunya pencipta sesuatu dan sekaligus
mewujudkannya dari (sebelumnya) tidak ada[58].
Ini berbeda dengan orang yang menjalankan perbuatan
apapun berdasarkan pilihannya, seperti memperoleh petunjuk atau kesesatan.
Karena itu,
penulis sengaja atau tidak telah mencampuradukkan, antara penciptaan perbuatan
dengan pelaksanaan perbuatan. Lalu mengajak masyarakat untuk menyibukkan diri
dengan perkara yang di masa Rasulullah saw sendiri tidak pernah bergolak,
bahkan di masa sahabat sekalipun.
Cukuplah
kiranya seorang Muslim mengetahui dua perkara penting, yaitu: mengetahui bahwa
qadar adalah ilmu Allah seraya beriman tentang baik dan buruknya, kemudian
mengetahui bahwa perbuatan-perbuatan yang dalam lingkup pilihannya sendiri
(af’âl ikhtiyariyah) itulah yang menjadi topik (diperolehnya) pahala pahala
atau dosa; dan perbuatan-perbuatan yang tidak tercakup pada perbuatan pilihan (af’âl
ikhtiyariyah) tidak akan dihisab oleh Allah. Sedangkan istilah qadha’ dan qadar
itu berkaitan dengan perbuatan yang tercakup dalam perbuatan yang dipaksa
(af’al jabariyyah), serta menyangkut sifat-sifat khas pada benda yang tidak ada
kaitannya dengan manusia, dan manusia tidak akan ditanya tentang
perkara-perkara tersebut, bahkan tidak ada kaitannya dengan masalah pahala dan
sanksi.
Khatimah
Kita ingin
menegaskan kembali bahwa pengkafiran atau paling tidak penyesatan terhadap ahlu
al-qiblah tanpa burhan serta menghidupkan akidah ‘kelompok’ akan mencegah
bersatunya Kaum Muslimin serta akan menghalangi upaya-upaya untuk menyatukan
mereka. Aqidah al-Madzhabiyyah adalah pendapat yang Islami, dan yang memeluk
akidah tersebut adalah Muslim. Tidak boleh seorangpun mengkafirkan ahli
al-kiblah.. Karena masalahnya kembali pada masalah ijtihad. Oleh karena itu
i’tiqad Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah menyatakan, sebagaimana yang dikatakan
oleh Imam al-Taftazani[59]:
ان لا يكفر أحد من اهل القبلة
“hendaknya tidak mengkafirkan seorangpun ahli kiblat”.
Maka penyesatan
yang dilakukan oleh penulis tanpa dasar yang kuat bertentangan dengan sikap
Ulama’ Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah.
Selain itu,
upaya sebagian kaum Muslimin, untuk menghidup-hidupkan akidah ‘kelompok’ dan
menyesat-nyesatkan ‘kelompok’ yang bukan ‘kelompoknya’ akan menghalangi
persatuan umat. Padahal umat sangat butuh kesatuan dan persatuan. Ini tentu
sangat disayangkan. Kesatuan dan persatuan yang dibutuhkan saat ini adalah
kesatuan dan persatuan hakiki yang didasarkan pada Aqidah Islamiyyah yang telah
digariskan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, serta semangat untuk menerapkan
syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Menghidup-menghidupkan akidah ‘kelompok’ dan
menyesat-nyesatkan ‘kelompok’ lain akan mencegah persatuan umat, dan
mengakibatkan umat terus menerus dalam kondisi yang lemah dan ‘ringkih’ serta
menjadi bulan-bulanan orang-orang kafir. Wal iyadzu billah. Wallahu a’lam
bish-Shawab.
------------------------
Catatan:
*dicopas dari blog Ust. M. Taufik NT, M.Si
*Sebagai tambahan silahkan download Bantahan Al-Gharrah Al-Imaniyah Fi Mafasid
At-Tahririyyah disini
——————————————————————————–
[1] Oleh Musthafa A Murtadlo
[2] Lihat Imam Muslim, Shahih Muslim juz I hal 15
[3] Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abi Zakaria Yahya
an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, juz I hal 6
[4] Lihat Imam Muslim, Shahih Muslim, juz I hal 34
[5] Lihat Imam Muslim Shahih Muslim, juz I hal 38
[6] Lihat majalah al-Wathan al-Arabi, volume 908,
karena konspirasi dengan rezim Hilasilasi yang kafir serta tiran tersebut dia mendapat
gelar ‘kehormatan’ di Ethiopia ketika itu dengan Syeikh al-Fitnah.
[7] Lihat http://www.anti habashis.com
[8]Lihat majalah al-Wathan al-Arabi, volume 908
[9] Lihat Abdullah al-Harari, Sharih al-Bayan hal. 102
[10] Lihat Abdullah al-Harari, Idzharu al-Aqidati
as-Sunniyyah, hal 182.
[11] Lihat buku mereka, Syarith, al-Wajhu al-Awwal hal
143
[12] lihat Abdullah al-Habasyi, Idzharu al-Aqidati
as-Sunniyyah hal 237.
[13] Lihat Majalah Manar al-Huda volume 22 hal 24.
Padahal az-Zabidi menggelari Ibnu Taimiyyah dengan Syeikhul Islam (Ittihafu
as-Sadah juz I hal 123&221), as-Suyuthi (al-Hawi fi al-Fatawa, juz IV hal
537), dan Ibnu Thulun (al-Qala’id al-Jauhariyyah hal 516).
[14] Lihat Abdullah al-Habasyi, an-Nahju as-Salim hal
26, Idzharu al-Aqidah as-Sunniyyah hal 59, dan Bughyatu ath-Thalib hal 18
[15] Lihat Abu Syuhaib Abdul Aziz bin Syuhaib
al-Maliki, al-Maqalat as-Sunniyyah fi Kasyfi Dhalalati al-Firqati
al-Habasyiyyah hal 7
[16] Lihat al-Habasyi, Idzharu al-Aqidah as-Sunniyyah,
hal 40
[17] Lihat al-Habasyi, an-Nahju as-Salim, hal 67
[18] Lihat Abdul Aziz bin Syuhaib al-Maliki,
al-Maqalat as-Sunniyyah fi Kasyfi Dhalalati al-Firqati al-Habasyiyyah hal 7,
juga ada pada rekaman ceramahnya
[19] Lihat Maktabatu Misykilah al-Islamiyyah, tentang
maudhu’ al-Ahbasy
[20]Surat Dr Umar Hasyim yang tertanggal 28 Agustus
2001, dikirim melalui faks dan diterima oleh Kantor Rabithah Alam Islami
tanggal 3 September 2001, pk 13.00 setelah dzuhur. Juga bisa dicek di
http://www. Anti habashis.com
[21] idem
[22]Lihat http://www .anti habashis.com
[23] Lihat Abdullah al-Harari, Maqalat as-Sunniyyah,
hal 04
[24] Lihat http://www. Anti habashis.com. padahal
menurut madzhab ahlu al-haq Al-ghayah la Tubarrir Al-washilah (bahwa tujuan itu
tidak menghalalkan semua cara).
[25] idem
[26] ((قال الحافظ العبدري في دليله )) فيدلسون على الناس فيظنون
أن الحافظ من مشاهير علماء المسلمين مثل الحافظ ابن حجر أو النووي وإنما
هو في الحقيقة
شيخهم ينقلون من كتابه الدليل القويم … (مكتبة مشكاة الاسلامية)
[27] ‘Abdullah al-Harari, Ibid, hal. 21-23.
[28] Lihat Imam asy-Syirazi, al-Luma’ fii Ushul
al-Fiqh, hal 86-87
[29] Lihat Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu
Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa al-Nawawi, Raudhah ath-Thalibin wa Umdah
al-Muftin, juz I hal 387
[30] Imam asy-Syirazi, al-Luma’ fi Ushulil Fiqh, hal
82. Nama lengkap beliau, rahimahullah, Abi Ishaq bin Ali asy-Syirazi, wafat
tahun 476 H.
[31] Lihat Qamusul Maurid, bagian huruf “qaf”
[32] Lihat Imam as-Sindi, Syarah Sunan an-Nasa’I, juz
V hal 434
[33] Lihat Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz an-Nawawi,
Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, juz VI hal 322
[34] Lihat Imam al-Hafidz Abul Fida’ Isma’il Ibnu
Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Juz I hal 737
[35] Lihat Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an, Juz III hal 429
[36] Lihat Imam al-Hafidz Abul Fida’ Isma’il Ibnu
Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim, Juz II hal 87
[37] Imam Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam fii Ushul
al-Ahkam, Juz I hal 100
[38] Abdullah al-Harari, al-Gharrah al-Imaniyyah fi
Mafasid at-Tahririyyah, ed. ‘Abdul ‘Aziz Masyhuri al-Indunisi, al-Idarah
al-Markaziyyah li Rabithah al-Ma’ahid al-Islamiyyah Indonesia, 2001, hal. 7-17.
[39] Al-Hafidz Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam
al-Muwaqqi’in, juz I hal 49
[40]Lihat al-Allamah Syeikh Mar’i bin Yusuf al-Karami
al-Maqdisi al-Hambali, Raf’u al-Syubhah wa al-Gharar amman Yahtaju ala Fi’li
al-Ma’ashi bi al-Qadar, hal 39
[41] Lihat Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali,
al-Iqtishad fii al-I’tiqad, hal 81
[42] al-Allamah asy-Syeikh, Mar’i bin Yusuf al-Karami
al-Maqdisi al-Hambali, Raf’u asy-Syubhah wa al-Gharar amman Yahtaju ala Fi’li
al-Ma’ashi bi al-Qadar, hal 12
[43] Lihat Syeikh Taqiyuddin an-Nabhany,
asy-Syakhsiyyah al-islamiyyah, Jilid I hal 48-50. beliau menegaskan: “adapun
perbedaan mereka dengan manhaj al-Qur’an adalah bahwa sesungguhnya al-Qur’an
dalam dakwahnya berpegang pada asas fitri (fitrah manusia). Sungguh al-Qur’an
berpegang pada asas yang fitri tersebut dan menyeru pada manusia dengan hal-hal
yang sesuai dengan fitrah tersebut. Al-Qur’an, pada saat yang sama berpegang
pada asas al-aqli (landasan akal). Sungguh al-Qur’an berpegang pada akal dan
menyeru (manusia) yang berakal”.
[44] … قال وحكمي في علماء الكلام أن يضربوا بالجريد ويطاف بهم في
العشائر والقبائل ويقال هذا جزاء من ترك الكتاب والسنة وأخذ في الكلام …
Imam asy-Syafi’I berkata: “… dan hukum atas para
ulama’ kalam adalah hendaknya mereka dipukul dengan pelapah kurma, di arak di
Asyirah-Asyirah dan Kabilah-kabilah dan dikatakan inilah balasan karena
meninggalkan al-Kitab dan as-Sunnah serta mengambil (ilmu) Kalam (al-Hafidz
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Talbis Iblis, Juz I hal 102)
[45] وقال أحمد بن حنبل لا يفلح صاحب كلام أبدا علماء الكلام زنادقة
… dan (Imam) Ahmad bin Hambal berkata: tidak akan
bahagia pemilik kalam selamanya. Ulama’ kalam itu Zindiq (Al-hafidz Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyyah, Talbis Iblis, Juz I hal 102)
[46] Hujjah al-Islam Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad
fi al-I’tiqad, hal 81
[47] Abdullah al-Harari, al-Gharrah al-Imaniyyah fi
Mafasid at-Tahririyyah, ed. ‘Abdul ‘Aziz Masyhuri al-Indunisi, al-Idarah
al-Markaziyyah li Rabithah al-Ma’ahid al-Islamiyyah Indonesia, 2001, hal. 15.
[48] Bagi yang ingin menelitinya, silahkan merujuk
kepada naskah aslinya, baik dalam bahasa Arab maupun Indonesia.
[49] Lihat al-Qadhi Abdul jabar, Syarah al-Ushul
al-Khamsah, hal 323
[50] Lihat Imam Muhammad bin Umar bin al-Hasan
ar-Razi, I’tiqadat Firaq al-Muslimin wa al-Musyrikin, hal 1
[51] Lihat al-Inshaf lil Baqilani, hal 56
[52] Lihat asy-Syeikh Taqiyuddin an-Nabhany,
asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah, juz I hal 93
[53] Lihat Al-Qadhi Abubakar bin Thayyib al-Baqilani,
al-Inshaf , 56
[54] Lihat Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalatul
islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, Juz I hal 540
[55] al-Allamah asy-Syeikh, Mar’i bin Yusuf al-Karami
al-Maqdisi al-Hambali, Raf’u asy-Syubhah wa al-Gharar amman Yahtaju ala Fi’li
al-Ma’ashi bi al-Qadar, hal 11
[56] Idem
[57] Lihat Syarah Shahih al-Bukhari libni Bathal, juz
19 hal 396
[58] Periksa kembali penjelasan para ulama diatas
[59] Al-Taftazani, Syarhu al-Aqa’id an-Nasafiyyah hal
152. Beliau adalah Ahmad bin Yahya bin Muhammad bin Sa’du ad-Din Mas’ud bin
Umar al-Taftazani al-Harawi, Syeikhul Islam, salah seorang Fuqaha’ Syafi’iyyah.
0 komentar:
Posting Komentar