9/28/2012
9/14/2012
Berkaryalah, Sebelum Kehilangan Semuanya
Ketika seseorang berada dalam kondisi terpuruk, tak memiliki
kekuatan, tak juga semangat dan tak memiliki harapan akan hari esok yang cerah.
Ketika vonis dari manusia telah menjatuhkan bahwa “kamu tidak akan tertolong”.
Ketika tubuh hanya bisa meringkuk, bagai seonggok daging tak berguna. Ketika
air mata tak henti mengalir dan menciptakan telaga baru. Ya, telaga air mata
sendiri. Dalam kondisi terpuruk seperti itu, apa yang bisa dilakukan seseorang?
Mungkin, hanya tangis dan kepedihan yang menjadi teman
bicara. Akan selalu bertanya, di manakah letak pertolongan itu? Andai aku tahu,
letak pertolongan itu, maka akan kuraih dan kugenggam erat. Aku ingin menolong
diriku sendiri untuk bangkit dari keterpurukan dan ketidakberdayaan. Aku ingin
mendobrak semua kepedihan yang sangat menyayat hati. Aku ingin menunjukkan pada
Sang Pencipta takdir ini bahwa aku menerima takdir-Nya dengan lapang. Tidak
cengeng, tidak mengeluh dan uring-uringan. Namun, itu sulit kulakukan.
Meskipun ilmu tentang sabar dan syukur sudah kupelajari dan
kubaca berulang-ulang, namun ketika kenyataan mengharuskan kita berhadapan
dengan kondisi yang menuntut kita bersabar dan bersyukur, ternyata itu sangat
berat dilakukan. Menerima kenyataan tak semudah menerima teorinya. Praktik itu
lebih sulit. Itulah yang kurasakan.
Ujian itu datang tak pernah diundang. Mengejutkan. Sebuah
penyakit yang bercokol di tubuh dan tidak terdeteksi medis. Semua dokter ahli
yang menangani, sudah angkat tangan. Menurut mereka, tak ada penyakit dan tak
ada obatnya. Hanya disarankan memohon pada Sang Pemberi sakit. Itulah solusi
akhir. Seyogyanya, kepasrahan pada Allah memang menjadi kunci awal untuk
bersandar diri. Bukan memposisikan di akhir ketika berada di ambang tipisnya
harapan. Mendatangi dokter dan mengkonsumsi obat, hanyalah sebagai bentuk usaha
untuk memfasilitasi menuju jalan kesembuhan. Bukan dokter atau obat yang
menyembuhkan.
Ketika para medis yang ahli dalam bidang kedokteran saja
mengatakan tak ada obatnya dan kecil kemungkinan untuk sembuh. Hanya satu
pilihan kita. Pengobatan komprehensif lahir bathin! Aku pasrahkan sepenuhnya
kesembuhan ini pada Sang Pemberi sakit. Aku memohon padanya melalui cara-cara
pengobatan yang telah diajarkan oleh utusan-Nya. Bersandar diri sepenuhnya,
bersedekah untuk kesembuhan, berzikir dan membaca ayat-ayat-Nya. Lalu, back to nature. Mengambil obat-obatan
dari alam untuk menguatkan fisikku yang lemah.
Kakiku lumpuh. Tak bisa dipakai untuk berjalan. Sekadar
menggeser atau membalikkan badan saja, aku tak mampu. Aku harus minta bantuan
orang lain. Aku benar-benar berada dalam kondisi tak berdaya. Air mata tak
henti meleleh dari pipiku, kala itu. Meskipun, aku menangis hanya pada saat lagi
sendiri. Aku takut kejadian lebih buruk akan menimpaku. Betapa sedihnya jika
aku harus tergolek selamanya dan meminta uluran tangan orang lain untuk
membantu. Benar-benar aku was-was dan khawatir.
Tak ada yang bisa kulakukan di tempat tidur dalam kondisi
lumpuh. Aku hanya bisa menangis dan menghibur diri. Agar aku tegar dan menerima
ujian darinya. Tapi berat, sungguh berat. Tak bisa kubohongi diri ini. Di hadapan
keluarga dan orang-orang yang menjengukku, aku bisa tersenyum meskipun tak
sempurna. Namun sesungguhnya, hatiku menangis. Ketika mereka tak ada, mukaku
akan bersimbah air mata. Tidak bisa kubendung. Air mata itu seperti air bah
yang terus menerjang, menjebol tanggul di mataku. Aku merasa berenang di telaga
airmataku sendiri.
Lumpuh tiga bulan! Waktu itu belum mengenal facebook, apalagi email, juga belum
memiliki laptop. Jenuh, sangat jenuh. Ketika dalam waktu tiga bulan harus
tergolek dan tidak memiliki apapun yang bisa dijadikan jalan untuk mengalihkan
rasa sedih dan sakitku. Dalam kondisi lumpuh itu, berat badanku sudah turun 20
kg. Rambutku rontok. Hanya tersisa beberapa helai saja. Muka dan kulitku menghitam.
Aku takut melihat mukaku di cermin. Aku menjauhkan cermin. Aku seperti benci
cermin sejak aku sakit. Sementara di perutku ada benda yang selalu
bergerak-gerak tetapi tidak terdeteksi alat-alat medis. Sudah berulangkali di
USG dan rontgen, para medis tak menemukan apapun. Tapi anehnya saat dilihat dan
dipegang, sangat jelas benda itu ada. Beberapa bagian tubuhku, seperti disayat-sayat
silet dan mengeluarkan darah. Entah bagaimana terjadinya proses sayatan-sayatan
itu, aku tak mengerti.
Mengenaskan sekali kondisiku waktu itu. Aku sering terjaga
di malam hari dan tidak bisa tidur hingga subuh tiba. Aku menangis, melamun dan
merenung. Aku hanya diajarkan untuk selalu menyebut nama-Nya dalam setiap
tarikan napasku agar ‘gangguan’ itu segera enyah dari tubuhku. Dan memang hanya
menyebut nama-Nya yang bisa kulakukan sambil berbaring. Salat pun kulakukan
sambil berbaring. Mengambil wudhu harus minta bantuan. Jika tak ada orang, aku
tayamum. Dan hanya berbekal tasbih, usai salat aku zikir semampuku.
Dalam kondisi seperti itu, aku membayangkan hal-hal yang
tidak pernah terlintas sebelumnya dalam benakku. Jika saja aku tidak tertolong,
seperti pernyataan para medis itu. Lalu apa yang bisa kutinggalkan untuk
keluargaku? Harta aku tak punya dan karya pun tak ada. Tak ada yang bisa diberikan
dan tak ada yang pantas untuk dikenang.
Kalaupun Allah masih memberikan pertolongan tetapi dalam
kondisi aku tetap lumpuh, lalu apa pula yang bisa menjadi catatan karya dalam
hidupku yang bisa kuceritakan pada anak-anak dan cucuku kelak? Tidak sekadar
cerita, tetapi yang bisa kubagikan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi mereka.
Jika saja aku mengatakan bahwa aku dulu seorang penulis. Lalu, bagaimana jika
kelak cucuku bertanya, “Katanya dulu nenek penulis. Tapi mana buku karya
nenek?” Wah, benar juga ya. Tak ada jejak sebagai seorang penulis. Hanya cerita
dari mulut saja. Cerita itu pun perlahan akan menguap ke udara dan tak ada yang
mengingatnya lagi. Kalaupun pernah punya tulisan di koran yang pernah dimuat, itu
koran jadul, yang anak cucu tidak mengenalnya. Bahkan, mungkin redaksi koran
tersebut sudah tidak menerima naskah lagi, alias sudah buyar.
Jika aku memberikan buku tulis atau diari yang menjadi
tempatku menulis setiap hari, apakah mereka tertarik? Jaman semakin maju. Tekhnologi
semakin canggih. Anak-anak sekarang lebih suka membaca melalui layar komputer.
Bukan buku tulis, apalagi dengan tulisan yang sulit dibaca. Membuat mereka
ngantuk. Mungkin tidak akan berlaku pendapat bahwa tulisan yang menarik itu
adalah tulisan yang membuat orang tidur menjadi terbangun, orang diam menjadi
bergerak, orang berjalan menjadi berlari. Ini sebaliknya, orang bangun menjadi
tertidur. Hmm… benar, tak ada jejak yang bisa dikenang dan bermanfaat bagi
generasiku berikutnya.
Aku seolah tersadar. Mataku seolah terbuka lebih lebar.
Tiba-tiba semangatku mulai tumbuh, menyeruak dan mendorong-dorong agar aku
berbuat lebih baik. Menumbuhkan tekad yang kuat agar aku menghentikan tangisku
dan mulai berkarya. Sebelum kehilangan semuanya, berkaryalah! Aku telah
kehilangan kekuatan kakiku untuk bergerak, tapi bukankah pikiran dan hatiku
masih bisa diajak ‘bergerak?’ Aku tidak ingin meringkuk bermandikan tangis dan
tak berguna hingga akhir hayatku. Banyak orang cacat sejak lahir, mereka
semangat dan berbuat. Mengapa aku yang diberikan kesehatan sekian tahun dan
baru diuji beberapa bulan saja, tak mampu menstabilkan semangatku? Aku harus
bisa!
Aku tidak mau seperti halnya pohon cemara. Saat hidup
terlihat elok meliuk-liuk ditiup angin. Banyak orang mengagumi dan ingin
memiliki. Pohonnya pun mahal harganya. Tapi ketika akar-akarnya tercerabut,
layu dan mati, siapa yang tertarik padanya? Tak seorang pun peduli. Ia tak
berguna sama sekali. Jangankan untuk hiasan, untuk kayu bakar pun tidak.
Sungguh ironi. Saat masih sehat berdiri kokoh, disanjung dan diperebutkan
banyak orang. Tetapi saat sakit dan mati tak seorang pun peduli.
Tidak! Aku tidak ingin menyia-nyiakan sisa hidupku. Biarlah
Allah berbuat sesuai kehendak-Nya atas titipan yang diberikan-Nya padaku. Tapi
aku pun harus berbuat dan berusaha sesuai ilmu dan ilham yang dititipkan-Nya.
Lumpuh kaki bukan berarti pikiran dan hatiku ikut lumpuh. Aku harus bangkit
dari keterpurukan. Yang bisa mengubah keadaan menjadi bahagia, hanya aku. Semua
sumber kesedihan itu sebenarnya ada dalam diriku sendiri. Aku terlalu
dibayang-bayangi ketakutan. Hingga membuat kesedihanku tak berujung.
Jika para wanita sahabatnya Zulaikha, bisa lupa akan
sakitnya saat mereka melihat ketampanan Yusuf, berarti aku pun bisa. Para
wanita sahabat Zulaikha itu tak sadar dan tak merasakan sakit saat jari jemari
mereka terpotong pisau. Sebab, ingatan mereka hanyut dalam pesona ketampanan
Yusuf. Dahsyat sekali. Itu artinya, aku harus mengalihkan ingatanku bukan pada
penyakitku, tetapi pada sesuatu yang aku sukai. Agar lupa sakitnya dan lupa
untuk bersedih. Benar, mulai saat itu aku menjadikan terapi untuk kesembuhanku
salahsatunya dengan membaca dan menulis. Itulah hal yang aku sukai sejak kecil.
Membaca dan menulis ternyata aktivitas yang cocok dilakukan oleh orang yang
tidak bisa berjalan. Aku merasa terhibur. Aku bertambah wawasan meskipun aku
tergolek di tempat tidur.
Aku juga bisa menuangkan perasaanku dalam tulisan. Aku
menghindari rangkaian kata-kata yang mengundang tangis, yang mengundangku untuk
terpuruk lagi. Aku menguatkan diri. Tak seorang pun bisa mengubahnya, kecuali
aku sendiri. Ya, aku harus berubah untuk kebaikanku sendiri. Akhirnya, aku
enjoy sekali membaca dan menulis. Buku-buku berserakan di tempat tidur.
Merekalah temanku berbagi, yang bisa dibuka kapan saja. Kutuliskan kisah
sakitku dengan bahasa remaja. Agar ceria dan tak menyeretku pada jatuhnya airmata.
Aku berbicara konsep sedekah menjelang fajar. Sedekah sebagai salah satu jalan
pengobatan. Kuceritakan kisah sakitku yang menempuh pengobatan salah satunya
berobat lewat sedekah.
Aku ingat pesan seorang ustad yang membimbingku, “Apabila
sakitnya parah, maka sedekah pun harus sebanding dengan sakitnya. Bukan seribu-dua
ribu rupiah, tetapi harus ada niat dan pengorbanan total untuk kesembuhan sakit itu.” Itu
artinya, orang sakit harus benar-benar berniat menyedekahkan hartanya secara
pantas untuk kesembuhannya. Seperti kisah-kisah orang saleh pada masa lalu.
Saat ditimpa penyakit berat, mereka mengalirkan sumur untuk kepentingan orang
banyak, menyedekahkan hasil panennya, memerdekakan budak, menghibahkan
perhiasannya dan lain-lain. Dengan izin Allah, mereka mendapat kesembuhan tanpa
bantuan medis.
Aku yakin dengan kisah-kisah itu adalah bagian dari
keajaiban sedekah. Kuikuti nasehat baik itu. Dalam kondisi kita divonis tak
tertolong lagi, yang kita pikirkan adalah benar-benar ingin berbuat yang
terbaik. Rasanya kesiapan diri total untuk berkorban harta itu memang munculnya
saat kita berada di ambang kematian. Aku berusaha semampuku untuk kesembuhan
dan hasilnya aku pasrahkan pada-Nya. Aku yakin pertolongan-Nya akan datang tak
terduga.
Allah menghiburku di suatu hari. Meskipun hingga kini aku
belum percaya dengan kejadian itu. Tapi aku merasa bersyukur, ada seorang
misterius yang datang menghiburku saat sakitku sedang pada titik di puncak
kritis.
Sore itu, rombongan ustad dan santrinya datang menjengukku. Aku
mendengar suara kendaraan yang mereka bawa di parkir depan rumah. Tiba-tiba
seorang perempuan berjilbab putih, bergaun lebar dan berhidung mancung masuk ke
kamarku. Lalu menyentuh kakiku dan membelainya lembut. Ia bertanya, “Sakit
apa?” Aku bingung harus menjawab apa. Bukankah dokter saja tidak tahu jenis
sakitnya. Aku jawab saja, kakiku lemas. Ia bilang, “Kasihan sekali.” Ia
memijit-mijit kakiku. Wanita itu pun mengenalkan diri dan mengatakan rombongan ustad.
Hanya beberapa menit ada di kamarku, ia pun pamit untuk ke ruang tamu.
Namun, betapa kagetnya saat tak seorang pun dari anggota
rombongan itu yang membawa istri atau keluarga perempuan. Rombongan itu
semuanya laki-laki. Mereka hanya bengong mendengar penjelasanku. Meskipun bulu
kudukku sedikit meriding, tapi aku berhusnudzan saja, semoga itu adalah makhluk
baik yang dikirim untuk menghiburku. Bukankah seorang lelaki saleh yang bernama
Imron bin Husein, pada saat sakitnya selalu dikunjungi malaikat yang menyapanya
setiap hari. Meskipun keimananku tak sehebat keimanan Imron bin Husein, tapi
tak ada salahnya aku berharap seperti yang terjadi pada lelaki saleh itu.
Aku membaca dan menulis pada saat sakit itu. Aku tidak mau
lagi mengikuti bayangan-bayangan buruk yang kuciptakan sendiri. Aku menghapus
tentang vonis, prediksi dan ramalan-ramalan dari manusia. Aku siap mengikuti
kehendak-Nya saja. Saat ada keinginan untuk memakai kursi roda, keluarga dan
teman-teman menentangku. Sebab, aku tidak akan termotivasi untuk sehat.
Selamanya akan tergantung pada alat bantu. Benar, aku tak boleh punya pikiran
untuk memakai kursi roda.
Setiap hari, aku selalu menepuk-nepuk kakiku. Membacakan doa
dan mengurut sendiri dari atas ke bawah. Usai salat lima waktu aku mengusapnya
dengan air putih yang telah kubacakan doa dari ayat-ayat Alquran. Aku menjadi
tabib untuk sakitku sendiri. Berulang-ulang kali, aku berkata, “Aku bisa! Aku
sembuh! Aku pasti bisa!” Kutepuk kakiku dan mengatakan, “Aku kuat!” “Sembuh
dengan ijin Allah.” Aku terus mengatakan seperti itu untuk menguatkan
keyakinanku. Aku harus yakin dan husnudzan bahwa Allah akan memberikan
kesembuhan. Meskipun adakalanya saat mengatakan, “Aku bisa!” tiba-tiba
airmataku menetes lagi.
Pertolongan Allah memang indah dan benar adanya. Dia
memberiku kesembuhan. Benda misterius yang ada di perutku hilang. Kulitku yang
menghitam, akhirnya mengelupas. Aku berganti kulit. Rambutku tumbuh kembali
layaknya rambut seorang bayi. Perlahan kakiku bisa digerakkan. Aku belajar
merangkak, berpegangan pada dinding dan benda-benda yang ada di dalam rumah.
Lalu belajar melepaskan pegangan tangan saat berjalan. Kebahagiaan pun datang,
aku benar-benar bisa berjalan kembali bahkan berlari. Subhanallah, aku merasa terlahir kembali. Memiliki kulit baru,
rambut baru, dan semangat hidup yang baru. Tangisku kali ini bercampur dengan
senyuman. Alhamdulilah, atas
pertolongan-Nya.
Ternyata tulisan yang kubuat saat sakit sudah setebal satu
buku tulis. Langsung kuketik. Aku ingat tekadku saat sakit, “Sebelum kehilangan
semuanya, berkaryalah!” Ya, aku harus menghasilkan karya. Usiaku 30an tahun
waktu itu. Tak apa, tak ada kata
terlambat untuk memulai. Jika sebelum itu aku hanya mengirim tulisan-tulisanku
ke media, tapi setelah sakit ini, keinginanku semakin kuat untuk memiliki
sebuah buku hasil karya sendiri. Sayang sekali, aku tak memiliki pengetahuan
cara mengirim naskah ke penerbit. Aku gaptek sekali. Bahkan yang kudengar,
untuk membuat buku kita diterbitkan harus melalui proses seleksi beberapa
bulan. Jika naskah tidak diterima, maka penantian berbulan-bulan itu berbuah
hampa. Rumit dan kecil harapan bisa diterima. Itu menurutku waktu itu.
Langkah pertamaku, adalah menghubungi seorang penulis yang
bukunya pernah kubeli. Kebetulan ia mencantumkan nomor handphone di bukunya. Kabarnya, ia sudah menerbitkan 46 buku nonfiksi.
Baiklah, tak ada salahnya aku minta bantuannya menilai tulisanku sebelum mengirimkannya
ke penerbit. Alhamdulilah, ia
bersedia dan menyuruhku mengirimkan naskah yang sudah kutulis. Karena aku
gaptek, belum bisa menggunakan email, maka naskah setebal itu kukirim via pos.
Penulis itu berkomentar, “Ya ampun Mbak, kalo dalam bentuk print out kayak gini, bisa dua tahun saya membacanya. Kirim ulang
lewat email!” Wah, aku benar-benar tidak paham email. Meskipun sudah dibuatkan
kakakku tetapi tak mengerti cara menggunakannya.
Akhirnya, kulupakan saja meminta bantuan penulis itu untuk
menilai karyaku. Sebab belum bisa mengirimkan lewat email. Rupanya, penulis itu
diam-diam membacanya meskipun naskahku dalam bentuk print out. Ia bilang naskahku layak untuk dikirim ke penerbit. Aku
senang sekali seorang penulis yang telah menghasilkan banyak buku, menilai
karyaku layak dikirim ke penerbit. Namun, lagi-lagi terbentuk masalah
ke’gaptek’an. Aku tidak bisa mengirimnya lewat email. Ya sudah, lagi-lagi
kulupakan saja.
Tanpa diduga, suatu hari manager sebuah penerbitan meneleponku.
Dengan santun, ia mengenalkan nama dan nama penerbit tempatnya bekerja. Lalu
mengatakan tertarik dengan naskahku dan berniat untuk menerbitkan. Tentu saja
aku kaget. Aku tidak pernah mengirimnya pada penerbit. Aku kira itu modus
penipuan, seperti penipuan-penipuan yang pernah dialamatkan ke nomor
handphoneku. Ada penipuan hadiah mobil, sepeda motor, hingga uang tunai.
Namun, manager penerbit itu meyakinkanku bahwa ia
benar-benar telah membaca naskahku yang dibawa penulis yang pernah kumintai
bantuan menilai sebelumnya. Katanya, tertarik menerbitkannya. Tentu saja aku
senang sekali. Benarkah? Rasanya tak percaya. Aku tidak perlu menawarkan naskah
ke penerbit, tidak perlu ngantri berbulan-bulan, tidak perlu lobi-lobi. Justru
penerbit itu sendiri yang menawarkan untuk menerbitkan karyaku, tanpa ngantri
dan tanpa biaya. Bahkan, bukuku dipasarkan ke Toko Buku Gramedia seluruh
Indonesia.
Sudah pasti aku tidak menolak. Sebagai penulis pemula,
senangnya bukan kepalang ada penerbit yang melamar karyaku. Aku sangat
berterima kasih sekali. Bagiku, semua itu semata-mata atas kehendak-Nya. Bukan
karena tulisanku yang bagus dan hebat, tetapi semua itu tak lepas dari
andil-Nya yang telah tercatat dalam buku desain yang Maha Indah. Inilah salah satu
dari berkah sakitku.
Penerbit itu mewujudkan semuanya. Ia memintaku merevisi
selama lima hari, agar tulisanku tidak bergenre remaja. Lalu memintaku mengirim
lewat email. Kali ini, aku sanggupi. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan.
Atas bantuan penjaga warnet, naskahku sukses terkirim lewat email. Penerbit itu
benar-benar memenuhi janjinya. Surat kontrak royalty kutandatangani dan bukuku
tersebar di 46 toko buku Gramedia se-Indonesia. Termasuk toko-toko buku besar
lainnya.
Aku masih belum percaya dengan semua kejadian itu. Allah
seperti memudahkan jalan itu dan memberikan begitu saja apa yang kuinginkan.
Disaat aku mulai bertekad untuk menghasilkan karya, dan ada kesungguhan
mewujudkannya ternyata Allah telah menyiapkan jawaban yang sangat indah di
hadapanku. Luar biasa. Aku bersyukur dan berterima kasih pada tim penerbit itu
yang telah menghargai karya sederhana seorang pemula dan menorehkan kebahagiaan
di hati seorang manusia yang baru saja terlepas dari keterpurukan.
Ketika angka penjualan bukuku di Gramedia sudah mencapai
angka 400 eksemplar lebih dan menerima royalty pertama kalinya, aku semakin
yakin bahwa aku harus semangat menghasilkan karya yang bermanfaat, sebelum
kehilangan semuanya. Jika karyaku dinilai tak memiliki manfaat bagi pembacanya,
setidaknya aku telah berbagi menyebarkan kebaikan. Bukankah menyebar kebaikan
sekecil apapun akan dicatat sebagai amal ibadah? Tak ada kebaikan yang sia-sia.
Demikian pula, tak ada kata lelah dalam menyebar kebaikan. Itu artinya, harus
terus menggelorakan semangat berdakwah bil qalam. Mari kita berkarya, sebelum
kehilangan semuanya. Kehilangan waktu, kesempatan, kesehatan dan umur kita.
*) Penulis adalah
Sekjen Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia, berdomisili di Malang, Jawa Timur http://www.famindonesia.blogspot.com/2012/09/berkaryalah-sebelum-kehilangan-semuanya.html#more
Diposting oleh
FIRDAUS BIN MUSA
di
21.57
0
komentar
Rekrutmen Teroris Muda adalah Tuduhan terhadap ROHIS
Tayangan
Breaking News Metro TV pada Rabu 5 September 2012 tentang Pola Rekrutmen
Teroris Muda adalah Tuduhan terhadap ROHIS sebagai tempat upaya teroris
melakukan penyusupan, hal ini sama dengan upaya mematikan dakwah di sekolah dan
seolah mengeneralisir persoalan teroris ke upaya dakwah di sekolah.
Apa jadinya
kalau ROHIS di SMA/ SMP dijauhi siswa dan orang tua, maka akan semakin banyak
generasi muda Indonesia yg akan menjadi budak narkotika, tawuran, kejahatan dan
prilaku seks bebas. Pihak Metro TV sama halnya meresahkan masyarakat dan
membuat berita yang memojokkan usaha dakwah di sekolah.
Kami mohon
agar KPI menindak Metro TV untuk lebih santun dan jangan membuat fitnah baru
yang akan membuat ummat Isam dan bangsa ini semakin pada kondisi yang tidak
kondusif.
Ayo
kirimkan SMS pengaduan ke Komisi Penyiaran Indonesia ke
nomor 081213070000 (tarif normal) atas ketidaksetujuan kita dengan pemberitaan GEGABAH Metro TV yang mengasosiasikan ROHIS dengan SARANG TERORIS!
Contoh format SMS: "Kami menuntut Metro TV untuk meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia terutama adik-adik ROHIS karena telah memberitakan masjid-masjid sekolah sebagai tempat rekrutmen teroris. Dan kami menindak Metro TV untuk lebih santun dan jangan membuat fitnah baru yang akan membuat ummat Isam dan bangsa ini semakin pada kondisi yang tidak kondusif.”
nomor 081213070000 (tarif normal) atas ketidaksetujuan kita dengan pemberitaan GEGABAH Metro TV yang mengasosiasikan ROHIS dengan SARANG TERORIS!
Contoh format SMS: "Kami menuntut Metro TV untuk meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia terutama adik-adik ROHIS karena telah memberitakan masjid-masjid sekolah sebagai tempat rekrutmen teroris. Dan kami menindak Metro TV untuk lebih santun dan jangan membuat fitnah baru yang akan membuat ummat Isam dan bangsa ini semakin pada kondisi yang tidak kondusif.”
Jika ikhwan
wa akhwat fiLLAH meyakini adanya kebenaran di dalam tulisan dan fans page ini,
serta ingin meraih amal shaleh, maka sampaikanlah kepada saudaramu yang lain.
Bagikan (share) tulisan/gambar ini kepada teman-teman facebook yang lain dan
mohon bantuannya untuk mengajak teman-teman anda sebanyak mungkin di KOMUNITAS
RINDU SYARIAH & KHILAFAH, agar syiar kebaikan dapat LEBIH TERSEBAR LUAS DI
BUMI INI....
Diposting oleh
FIRDAUS BIN MUSA
di
21.44
1 komentar
9/01/2012
Aplikasi Ibadah Ramadhan Ba’da Ramadhan
Ustadz Edison M .Ag
Bulan Ramadhan telah
berlalu, entah kita yang meninggalkan Ramadhan atau Ramadhan yang meninggalkan
kita, namun yang jelas bagi seorang muslim, jika hati telah terpaut dengan
akhirat (beriman hari akhirat) maka sangat sedih hatinya tatkala Ramadhan telah
pergi dan khawatir tidak dipertemukan dibulan Ramadhan berikutnya.
Bagaimana tidak, sebab
dibulan Ramadhanlah ramal sholeh yang pahalanya berlipat ganda, kalaupun ada
dibulan lain, hanyalah pada tempat, waktu dan hari-hari tertentu. Bagi orang
yang benar-benar menghidupkan Ramadhan yang berlalu, maka setidaknya ada
beberapa hal yang akan terjadi pada dirinya
Istiqamah dengan ibadah, Tanggal
satu syawal yang lalu merupakan hari kemenangan bagi muslim yang berpuasa,
menang melawan hawa nafsyu (dari keinginan-keinginan, baik keinginan yang telah
dihalalkan (hubungan suami istri di siang hari) maupun keinginan yang terlarang
(bermubadzir saat berbuka), tapi perlu diingat sesungguhnya selepas Ramadhan,
tepatnya mulai bulan syawal, syetan juga merasakan sebuah kemenangan, karena ia
sudah terbebas dari belenggu-belenggu yang selama Ramadhan menyulitkan ia
menggoda manusia, lantaran manusia mengosongkan perutnya (perut muslim yang
kosong /sedang puasa akan sulit digoda oleh syetan, sebab syetan lebih suka
pada orang kekenyangan, apalagi tidak menyebut nama Allah sebelum makan)
Nah bagi muslim yang
benar-benar mempertahankan nuansa Ramadhan, ia akan tetap istiqamah beribadah,
amalan sunat akan ia kerjakan, apalagi amalan wajib, tentu tidak akan ia
biarkan tercecer (terlupakan)
Selain istiqamah dalam
beribadah, seorang muslim yang menghidupkan Ramadhan, ia akan mempunyai jiwa
sosial dan disiplin yang tinggi, karena selama Ramadhan ia di didik dan dilatih
untuk displin dan berjiwa sosial, contoh nyata adalah dengan memberikan
pebukaan orang berbuka sekaligus membayar zakat.
Menjadi insan yang jujur,
puasa juga mengajarkan kita menjadi manusia yang jujur, sebab orang yang
berpuasa ia bisa saja mengelabuhi manusia denga berpura-pura, tapi lantaran ia
beriman akan adanya Allah yang maha melihat serta malaikat yang mengawasinya
maka dengan kesadaran itulah ia tidak mau membatalkan puasanya, begitupun setelah
Ramadhan ia akan tetap jujur, karena allah dan malaikat tidak hanya disaat
bulan Ramadhan memperhatikan manusia.
Sungguh tidaklah bagi
seorang muslim meyakini, bahwa Allah dan malaikat-Nya hanya ditakuti disaat
dimesjid saja, tidak pula Allah swt mengatur kehidupan manusia hanya terkait
ibadah yang dilaksanakan dimesjid saja, namun muslim yang benar ia berkeyakinan
bahwa allah swt yang maha melihat ia senantiasa mengetahui apa yang dilakukan
manusia, walaupun dtempat yang kelam, dibawah batu yang hitam, dan manusia
tersebut hitam pula
Diposting oleh
FIRDAUS BIN MUSA
di
07.39
0
komentar
Langganan:
Postingan (Atom)