12/15/2014

UCAPKAN SELAMAT NATAL, JANGAN ! INGAT AQIDAHMU

Sobat Al-Insyaf, Kita awali buletin kali ini dengan sedikit dialog yang penulis dapat dari beranda facebook, dialog tsb terkait Seorang muslim yang mempertahankan keimanan dengan non muslim (David)
Musli : "Bagaimana Natalmu? "
David : "Baik, kau tidak mengucapkan selamat natal padaku??"
Muslim :" Tidak. Agama kami menghargai toleransi antar agama,
termasuk agamamu. Tapi urusan ini, agama saya
melarangnya..!!"
David : "Tapi kenapa?? Bukankah hanya sekedar kata2?
Teman2 muslimku yg lain mengucapkannya padaku??"
Muslim :"Mungkin mereka belum mengetahuinya, David. Bisakah kau
mengucapkan dua kalimat Syahadat?"
David : "Oh tidak, saya tidak bisa mengucapkannya... Itu akan
mengganggu kepercayaan saya..!"
Muslim: "Kenapa?? Bukankah hanya kata2? Ayo, ucapkanlah..!!"
David : "Sekarang, saya mengerti.."
Sobat Al-Insyaf, Inilah yang menyebabkan Buya Hamka memilih meninggalkan jabatan dunia sebagai Ketua MUI ketika didesak pemerintah untuk mengucapkan "Selamat Natal" yang meskipun anggapan HANYA BERUPA kata2 keakraban/toleransi namun disisi Allah nilainya justru menunjukkan kerendahan aqidah seorang hamba yang tidak faham / tidak mau mengerti akan konsep ilmu agama yang disisi lain faham akan ilmu2 umum yang sifatnya tiada kekal, tak berimbas akan keselamatan akheratnya yg abadi.
Ketika kita mengucapkan kalimat "selamat hari natal", maka ada kata "Selamat" disitu.Maka fahami lah arti kata selamat, yg berasal dari bahasa arab السَّلاَمُ (as salaam), yg berarti keselamatan. Keselamatan atas apa? Inilah hakekat sebenarnya dibalik ucapan "selamat hari natal" tsb, yaitu : Selamat hari natal = Selamat atas kalian atas hari lahirnya tuhan kalian = Selamat atas kalian karena kalian menyembah salib = Selamat atas kalian atas keyakinan kalian kalau Allah punya anak = Selamat atas kalian sebab kalian bertrinitas = Selamat atas kalian karena kalian bahagia dengan bangkitnya kaum salibis yg senantiasa mengharapkan hancurnya Islam.
Maka, bagaimana mungkin kita mengucapkan selamat kepada mereka? Apanya yg selamat? Sebab jelas mereka tidak akan selamat dengan agama dan keyakinannya tsb, sebagaimana firman Allah dlm surat Al Bayyinah ayat 6.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.
Ucapan ini lebih buruk daripada ucapan Selamat berzina..., selamat mabuk..., selamat mencuri..., selamat membunuh..., selamat korupsi..., selamat berhomoseksual... Akan tetapi masih banyak kaum muslimin yang tidak menyadarinya !!!
Perayaan Natal Bersama yang melibatkan umat Islam masih saja marak terjadi. Kendati Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa haramnya umat Islam terlibat dalam perayaan Natal, namun banyak yang tidak mengindahkan fatwa itu. Bahkan, hampir tidak ada perayaan Natal Bersama yang tidak dihadiri pejabat publik atau tokoh politik. Toleransi dan persatuan kerapkali dijadikan sebagai dalihnya. Keadaan semakin runyam ketika ada sejumlah ’ulama’ atau ’tokoh Islam’ yang melegitimasi sikap tersebut dengan berbagai dalil yang telah disimpangkan sedemikian rupa.
Pada dasarnya, Islam telah melarang kaum muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup aktivitas: mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. Sedangkan perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).
Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah swt; Al-Furqon : 72
..............
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu
Menurut mufassir, makna kata Al-Zûr (kepalsuan) di sini adalah syirik (Imam Al-Syaukani, Fath Al-Qadîr, Juz 4, Hal. 89). Beberapa mufassir seperti Abu ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, Al-Dhahhak, Al-Rabi’ bin Anas, dan lainnya, memaknai al-zûr di sini adalah hari raya kaum Musyrik. Lebih luas, Amru bin Qays menafsirkannya sebagai majelis-majelis yang buruk dan kotor (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346).
Sedangkan kata lâ yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna al-zûr, tidak menghadirinya (Imam al Syaukani, Fath al-Qadîr, juz 4, hal. 89). Memang ada yang memahami ayat ini berkenaan dengan pemberian kesaksian palsu (Syahâdah Al-Zûr) yang di dalam Hadits Shahih dikatagorikan sebagai dosa besar. Akan tetapi, dari konteks kalimatnya, lebih tepat dimaknai Lâ Yahdhurûnahu, tidak menghadirinya. Dalam frasa berikutnya disebutkan:
“Dan apabila mereka melewati (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya”(QS al-Furqan [25]: 72).
Dengan demikian, keseluruhan ayat ini memberikan pengertian bahwa mereka tidak menghadiri Al-Zûr. Dan jika mereka melewatinya, maka mereka segera melaluinya, dan tidak mau terkotori sedikit pun oleh nya (lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346). Berdasarkan ayat ini pula, banyak fuqaha’ yang menyatakan haramnya menghadiri menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Kaum Muslim telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani. “ (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ Al-Shirâth Al-Mustaqîm, hal.201).
Imam Baihaqi menyatakan, “Jika kaum muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Imam Al-Amidi dan Qadli Abu Bakar al-Khalal menyatakan,”Kaum Mmuslim dilarang keluar untuk menyaksikan hari raya orang-orang kafir dan musyrik.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Al-Qadhi Abu Ya’la al-Fara’ berkata, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”. (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201)
Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita hukumnya makruh, baik diantar atau mereka mengundang kita.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201).
Abu al-Qasim al-Thabari mengatakan, “Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslim menghadiri hari raya mereka karena mereka berada dalam kemunkaran dan kedustaan (zawr). Apabila ahli ma’ruf bercampur dengan ahli munkar, tanpa mengingkari mereka, maka ahli ma’ruf itu sebagaimana halnya orang yang meridhai dan terpengaruh dengan kemunkaran itu. Maka kita takut akan turunnya murka Allah atas jama’ah mereka, yang meliputi secara umum. Kita berlindung kepada Allah dari murka-Nya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235).
Abdul Malik bin Habib, salah seorang ulama Malikiyyah menyatakan, “Mereka tidak dibantu sedikit pun pada perayaan hari mereka. Sebab, tindakan merupakan penghormatan terhadap kemusyrikan mreka dan membantu kekufuran mereka. Dan seharusnya para penguasa melarang kaum Muslim melakukan perbuatan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Malik dan lainnya. Dan aku tidak mengetahui perselisihan tentang hal itu” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatâwâ, juz 6 hal 110). BAGI MUSLIM TOLERANSI ITU CUKUP DENGAN MENGATAKAN “ Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah......untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." Sekali lagi katakanlah “ BAGIMU AGAMAMU, BAGIKU AGAMAKU”. Wassalam

0 komentar: