4/22/2010

bicara cinta pada islam

 oleh firdaus bin musa



kenapa sesuatu itu mesti antara, antara sebelum alam dunia dan sesudah dunia ada alam kandungan antara bumi dan langit ada diriku, antara kafir dan beriman ada munafik dan fasik, dan antara jahat dan baik ada kebenaran, antara halal dan haram ada subhat, antara laki-laki dan perempuan ada banci. dan antara..antara lainnya, sekali lagi kenapa musti ada antara

terkadang hati, dan akal ini jadi raja tapi terkadang nafsu juga jadi raja dalam diri kita, lalu dimana keagungan allah itu ditempatkan sebagai sang maha diraja

semestinya kita tidak hanya sekedar tahu, tapi bagaimana kita juga harus bisa berbuat

sesuatu indah tapi keindahannya tidak berarti ketika hati gelisah, dan sering kegelisahan itu diakibatkan karena kemaksiatan kita kepada-Nya, dan sebesar-besar kemaksiatan ialah kita tidak mau merubah diri dan memperjuangakn sesuatu yang akan menyebabkan kita terjerumus kepada kepada kemaksiatan yangt berlarut-larut, a...palagi kalau bukan memperjuangkan syari'at dibawah naungan khilafah

membiasakan yang sudah biasa itu tidak luar biasa, tapi mewujudkan yang belum didepan mata itu baru luar biasa seperti perjuangan menegakkan syari'ah dan khilafah, siapa yang ingin jadi orang yang luar biasa cepat naik gerbong yang yang utama

benarlah sebuah kata hatiku ini dikala yakni"sederet kata tidak mampu untuk telinga yang tersumbat dinding kuning penguasa, maka jalan lain yang musti kita tempuh, tapi mana jalan lain itu yaitu jalan taqwa (dengan memperlihatkan aksi, sambil menawarkan solusi, dan tidak bersimbahkan caci)


lamunan itu berubah firasat, firasat berubah sak wasangka, syu'zhan itu berubah jadi tahayul terus tahayul berubah menjadi penyekutuan, tapi semua itu masih belum nampak sedang yg nyata itu penyekutuan dalam pembuatan hukum, manusia membuat hukum untuk mengatur dirinya sendiri seolah ia lebih hbat pula dari tuhannya



lumut itu tumbuh menghancurkan keindahan dari kerasnya batu, ia tumbuh menjadi penyejuk mata dari jarak jauh tapi ia juga membuat daku jadi buta kebenaran mana yg musti aku salahkan apakah batu, atau lumut, yang jelas setelah ku punya islam aku tidak pernah menyalahkan makhluk-Nya, karena setiap makhluk itu ditumbuhkan... tentulah ada sesuatu yg bisa dipetik keberadaannya, apalagi makhluk itu tidak berakal sedangkan yg berakal saja ia tidak bisa berbakti pada tuhan-Nya apalagi yg tidak berakal, wahai lumut dan batu kau inspirasi bahasa lisanku

hati-hati syabab dan syabah

hati-hati para syabab dan syabah

oleh firdaus bin musa

berikut korban
ta'aruf lewat facebook BELAKANGAN ini ta’aruf mengalami
penyempitan makna. Bahkan dalam praktiknya, banyak yang
mengidentikkan ta’aruf dengan pacaran. Salah satu penyebabnya adalah
maraknya ta’aruf yang dilakukan oleh para ikhwan maupun akhwat di
dunia maya. Padahal, sejatinya...... yang mereka lakukan itu adalah pacaran
berkedok ta’aruf, karena dalam aksinya, tiada lagi hijab dalam
interaksi bagi akhwat dan ikhwan bukan mahram, seakan bebas landas,
curhat di jejaring sosial facebook, hujat-hujatan. Itulah pacaran
terselubung dengan membawa topeng ta’aruf.Ikhwan-ikhwan yang
menggunakan profil islami tak pernah kehabisan ide dalam melegalkan
pacaran. Jika orang-orang yang tidak membawa agama berani terang-terangan
mengatakan pacaran, tapi tidak dengan pemuda pemudi yang berciri
khas agama, mereka berpacaran dengan embel-embel ta’aruf.Entah
apa yang ada di benak mereka, apakah ta’aruf dipahami sesuai syariat atau
sengaja menyelewengkan dari makna yang sebenarnya, banyak ikhwan dengan
mudahnya mengatakan ingin ta’aruf dengan akhwat yang diincarnya melalui
dunia maya tanpa perantara pihak ketiga.Komentar-komentar
di jejaring sosial sudah sulit lagi dipilah, mana yang untuk umum mana yang
harusnya dijadikan rahasia dirinya dengan Allah, facebook menjadi keranjang
sampah juga menjadi diary bagi sebagian orang. Akhwat dan ikhwan
berpacaran pun sudah mulai berani membuat status in relationship dengan
pasangan yang disebutnya sedang ta’aruf. ... Komentar-komentar
di jejaring sosial sudah sulit lagi dipilah, mana yang pacaran dan
mana yang ta’aruf. Belum ada ikatan apapun mereka sudah berani
memanggil umi-abi...Tak sedikit juga ikhwan genit dan akhwat
ganjen saling memberi perhatian di tempat umum. “Sudah shalatkah ukhti?
Jangan telat makan ya..” tulis sang ikhwan. Sang akhwat pun tak mau
kalah, membalasnya dengan kata-kata senada, “Syukron ya akhi atas perhatiannya,
semangat belajar ya.”Ada pula komentar yang lebih liar, “Eh
iya ukhti kelihatan anggun dengan jilbab itu, hehehehe.” Maka si
akhwat balik menjawab, “Ah, akhi nih bisa aja, ntar ana GR nih, heeeeee…”
Masya Allah, itukah yang disebut ta’aruf?Dulu penulis banyak
menemukan pencerahan di dunia maya dengan banyak berteman, namun jadi
ilfil (ilang feeling) setelah mengetahui sepak terjang beberapa ikhwan
akhwat, teriaknya agama, tapi murah terhadap lawan jenis, menebar
simpati dan basa-basi.Mereka memakai kedok ta’aruf untuk melegalkan
pacaran. Belum ada ikatan apapun sudah berani memanggil “umi-abi”
atau “abang-adik.” Tak sedikit pula ditemui akhwat berjilbab lebar
yang masih membudidayakan pacaran. Tanpa malu-malu lagi. Apakah semua
itu dilakukan karena ketidaktahuan akhwat tentang bagaimana Islam mengatur
pergaulan dengan lawan jenis? Wallahu a’lam. Yang pasti ada juga
yang biasa berkomentar pacaran haram, tapi dirinya masih juga berpacaran,
namun memakai kedok ta’aruf. Padahal praktiknya sami mawon.
...akhwat jangan mudah terpedaya pada ikhwan di dunia maya yang belum
diketahui secara jelas identitasnya...Hendaknya benar-benar
lurus memahami kata ta’aruf seperti yang diajarkan oleh Nabi kita,
jangan sampai menjadikan ta’aruf untuk menghancurkan keagungan Islam.
Telah jelas dalam Islam, bagaimana hendaknya kita menjaga diri kita
agar tidak terjatuh pada perkara-perkara yang membuat Allah murka. Jangan
memakai istilah ta’aruf jika hanya sebatas ingin menjadi uji coba
bermain hati.Hati akhwat biasanya lembut dan mudah tersentuh, korban
yang pertama akan merasakan terluka oleh ta’aruf coba-coba tadi tentunya
para akhwat. Begitu juga para akhwat, jangan mudah terpedaya pada
ikhwan dunia maya yang belum diketahui secara jelas identitasnya. Apa
yang ditampilkan dalam dunia maya, profil, kata-kata, tidak dapat dijadikan
tolak ukur untuk menilai karakter yang sesungguhnya, juga tidak
dapat cukup untuk menggambarkan pribadinya secara utuh, tetap waspada.
[Yuli Anna Pendamba Surga/voa-islam.com]