8/07/2010

Guru Edan

 oleh firdaus bin musa



Siswa-siswa SLTPN 03 Harapan Banjir kelurahan Kampung Karam tampaknya berhati gembira. Salah satu guru yang kebanyakan mereka benci, Pak Kusam, telah pindah dari sekolah mereka. Kepergian Pak Kusam yang pemarah dan peradang dirayakan secara khusus oleh anak-anak kelas dua dan tiga dengan mengadakan acara pertandingan sepakbola. Dalam pertandingan ini, ketua OSIS sebelumnya berkata,” Teman-teman, ini bukan pertandingan sepakbola biasa. Yang penting bukan kalah atau menang, tapi bagaimana merasakan nikmat bersama menendang kepala Pak Kusam yang kita misalkan sebagai bola-nya.” Bola itu mereka sepak dan mainkan dengan suka ria sampai hancur tanpa bentuk di akhir pertandingan.
Sebagai guru matematika, Pak Kusam digantikan satu minggu kemudian oleh guru baru. Dia adalah seorang pemuda yang pada hari itu berusia tiga puluh satu tahun, dua bulan lewat tujuh hari, dan dari segi penampilan seperti orang biasa saja.
“ Adik-adik, hari ini kita langsung saja belajar,” kata guru baru itu di hari pertamanya mengajar di kelas 2 A.
“ Siapa namanya Paak ?” Tanya para siswa kepadanya.
Lelaki itu lalu menuliskan namanya di papan tulis: Samir.
Siswa-siswa lalu tertawa, dan salah satu yang terusil berkomentar.
“Namanya Samir kok sepatunya tidak disemir Pak,” diimbuhi tawa sejumlah siswa.
Guru baru itu diam saja dan tanpa ambil pusing langsung mengembangkan pelajaran tentang trigonometri.
Hari itu tak terlalu berkesan.

Dua minggu adalah empat belas hari. Itu pun berlalu.
Di lokal 3 C.
Guru baru itu mengajar pakai sandal jepit. Satu kuning dan satunya merah. Dan dia pun berkata, “ Adik-adik, sebenarnya Bapak mau menyampaikan sebuah rahasia.”
Para siswa menanggapi serius raut mukanya yang serius. Tapi tak menjawab.
“ Langsung saja ya. Selama Bapak mengajar di sini tidak akan terjadi banjir.”
Para siswa tertawa, “ Kenapa Pak?”
“ Karena Bapak pakai sandal mengajar. Itu salah satunya...”
Beni, salah satu siswa 3 C dengan imajinasi terliar berpikir di hatinya,” Aku kira Bapak ini akan menyuruh kami memakai sandal ke sekolah.”
“…maka tirulah Bapak, maka banjir yang biasanya sekali dua minggu terjadi tidak akan terjadi lagi,” pesannya.
Anak-anak tertawa lagi. Tertawa dan percaya.
Tiga hari kemudian, siswa-siswa kelas 2A, 2D, 3A dan 3C pakai sandal ke sekolah, kecuali 12 orang. Guru-guru lain memarahi mereka dengan satu inti pesan: yang bersandal ke sekolah silakan pulang. Dan mereka menanya alasan mengapa para siswa seperti itu, dan salah satu dari mereka menjawab,” Pak Samir Pak, Pak Samir Buk.”
Maka ditanyalah Pak Samir.
“ Ya, sayalah yang menyuruh mereka, dan itulah yang terbaik.”
“ Sebagai guru baru, Anda tak patut seperti itu.”
Dan hari itu pidatolah salah seorang guru yang dituakan setelah mengumpulkan mereka sebelum pulang,” Besok, siapa yang pakai sandal musti gotong royong membersihkan WC dan halaman.”
Ternyata besoknya hari Minggu. Dan malam itu hujan. Seninnya, sekolah pun banjir. Para siswa tak ada yang memakai sandal, dan Samir tak ada juga jadwal mengajar.
Selasa, Samir mengajar di 3A. Dia pakai sandal belang belang dan pakai sarung serta kopiah. Siswa-siswa tertawa melihatnya. Pas masuk lokal itu, ada yang bertanya,” Pak, kemarin banjir. Bapak telah mendustai kami dengan mengatakan selama Bapak di sini banjir tiada lagi.”
Dengan santai, Pak Samir menjawab dengan kata-kata berirama,” Selama kalian patuhi kata-kataku tiada lagi banjir akan mengganggu. Karena kalian pakai sepatu di hari itu, maka banjir pun datang tepat waktu.”
Besoknya, siswa-siswa 3A pakai sandal, sarung dan kopiah. Laki-laki dan perempuan, total 26 orang. Siswa-siswa 2A, 2D dan 3C bertanya ke siswa-siswa itu. Yang ditanya menjawab,” Patuhilah kata-kata Pak Samir yang keramat maka kalian pun akan selamat!”
Besoknya lagi, hampir semua siswa di empat kelas itu pakai sandal, sarung dan kopiah sehingga penampilan sekolah menjadi kacau. Guru-guru tak habis pikir dan menyuruh pulang siswa-siswa itu dan untuk kesekian kali memanggil Pak Samir. Kebetulan hari itu kepala sekolah ada untuk menceramahinya dan intinya hanya ini: sebagai guru baru Pak Samir tak patut seperti itu.
“Bapak jangan mengatur saya. Saya mau pakai sandal atau sarung atau bawa kapak dan cilurit itu urusan saya. Urus sajalah diri Bapak sendiri. Tapi ingat, selama saya dipatuhi para siswa sekolah ini akan bahagia dan sentosa,” jawab Samir dengan wajah serius.
Hari itu juga, kepala sekolah dan beberapa guru senior rapat.
“ Ini si Samir telah menggelisahkan kita. Dalam waktu kurang dari sebulan dia telah menyesatkan para siswa. Apa tindakan kita?”
Pak Asmat sebagai yang tertua menjawab,” Siswa-siswa kita memang nakal-nakal dibanding siswa-siswa dari 136 SMP yang ada di pulau ini. Jadi menurut saya biarkan saja si Samir. Menurut saya, anjuran-anjurannya masuk akal.”
“ Pak Asmat, Bapak telah ikut tersesat ! Menurut saya, si Samir itu ditendang saja dari sekolah ini Pak Kepala Sekolah. Habis perkara,” saran Pak Amsat, yang memang punya dendam kesumat 12 generasi terhadap keluarga Pak Asmat.
Pak kepala sekolah ikuti nasehat Pak Amsat, bukannya Pak Asmat, karena Pak Amsat ini adalah suami dari anak sepupu kakek istrinya sementara Pak Asmat selain jadi guru sejarah juga kadang-kadang jadi tukang becak di pasar.
………………..

Diskusi Berpetaka



Di tengah kota, di dalam gedung yang setelah kejadian itu selalu menangis penduduk-penduduk yang melewatinya, sampai akhirnya gedung itu dinyatakan angker oleh walikota dan ketua Perkumpulan Dukun Nasional (PDN) dengan sebuah rumah sakit berlantai empat yang tidak berfungsi lagi di belakangnya.

Seorang gila yang lewat di sana bertanya pada angin yang bertiup sayu, “Apakah pula ‘kejadian itu’?

*
Dulu, dua bulan lalu, di dalam gedung itu diadakan diskusi besar yang diadakan oleh Klub Peduli Budaya Dikusi (KPBD). Dalam memulai acara moderator memberi pembukaan dengan suaranya yang merdu.

“ Saudara-Saudara, hari ini kita adakan diskusi dengan tema ‘Menciptakan Budaya Diskusi yang Sangat Tenang’. Sangat tenang saya katakan, karena sebenarnya diskusi-diskusi yang dilakukan sebenarnya sudah tenang, tapi bagaimana agar ketenangan dalam diskusi itu menjadi ketenangan abadi pada tiap acara diskusi itulah ilmu yang ingin kita dapat dari kesempatan ini. Nah, untuk itu saya perkenalkan dua pembicara dari UNLEN (Universitas Lengang Nasional), pertama Prof. Dr. Ir. Samin Hiroek , M.Sc., guru besar ilmu penenang dan Dr. Rarau Putra, spesialis tenar ilmu menenangkan tangis anak-anak dan balita. Baiklah, untuk menyunat waktu, kita persilahkan mereka untuk maju.”

Kedua pembicara pun maju dan membaca makalahnya sepuluh menit satu-satu. Setelah selesai, moderator membuka termin untuk menyilakan para peserta diskusi untuk menyampaikan pertanyaan, saran atau tanggapan yang berbagai-bagai.

Di barisan muka, dua orang tampak berebut mendapatkan mikrofon untuk bisa memberikan tanggapan. Mereka dorong-dorongan, tampar-tamparan sampai pukul-pukulan, sehingga suasana diskusi jadi ribut. Setelah usaha keras dengan mata lebam dan bibir berdarah, seorang tinggi kurus berhasil meraih mikrofon dan berkata,” Saudara penyaji, bagaimanakah caranya agar diskusi jadi tenang jika perusak suasana dan tukang hardik hadir pula dalam diskusi ini?”

Kawannya tadi langsung bersorak dengan suara menghardik,” Hai, akukah yang kauhina, kutunggu kau nanti di Simpang Tiga. Bawalah seluruh anak dan kemenakanmu, sedikit pun aku takkan ragu!” Katanya sambil menunjuk-nunjuk dan menuju kursi kembali duduk.

Penyaji menjawab, yang pertama Prof. Hiroek, ia berkata,” Suatu diskusi takkan pernah tenang, jika seorang peribut juga turut datang, apalagi jika peributnya itu sendiri jadi penyaji, dalam diskusi di hari ini. Adalah karena ulah-ulahnya, cucu saya sendiri jadi kehilangan suara.” Entah tentang siapa dia bicara.

Doktor Rarau pun langsung memotong,” Ha! Profesor menghina saya?! Tolonglah dijaga sedikit mulutnya.”

“ Iya, tentang siapa lagi aku bicara, karena engkau lah cucu ku hilang suara.”

“ Ha-ha-ha, itulah yang cucu Profesor amat pantas dapatkan. Sebagai pakar saya lebih tahu apa yang harus dilakukan. He-he.”

“ Gelak pula kau beruk, cuih…!” Profesor pun langsung meludah ke muka Dr. Rarau. Dr. Rarau membalas ludahannya tak kalah kerasnya, sehingga terjadi perang ludah antara mereka berdua. Peserta diskusi yang menanggapi tadi meludahi pula kawannya yang menghardiknya tadi karena kebetulan berhampiran kursi di barisan muka. Lama kelamaan, kawan-kawan yang simpati dengannya meludahi lawannya pula bersama-sama. Kawan-kawan lawannya itu pun maju pula, sehingga terjadilah perang ludah besar-besaran yang melibatkan seluruh peserta dan pembicara. Adapun moderator yang tak bisa berbuat apa-apa, karena tidak punya rekan untuk diludahi pula akhirnya ikut terbawa suasana dengan melakukan senam yang sering dilakukan anak durhaka, yakni senam geleng, tiap menggeleng meludah juga. Ludah meludah, dahak mendahak, terjadi 30 menit. Lalu, mereka berhenti dan meminum air yang disediakan di tempat diskusi. Kemudian perang ludah dilanjutkan lagi, kini 25 menit saja. Di sela-selanya, 5 anak gelandangan masuk menyuruk-nyuruk untuk “mandi gratis” sambil membawa handuk.

Setelah habis ludah mereka, dilanjutkan dengan tawuran, sepak terjang, tumbuk ganyang, banting hempas selama 2 jam. Akhirnya, semua mereka terkapar, dan dibawa ke rumah sakit di belakangnya yang bernama RS Dr. Abu Bakar. Semuanya pingsan satu hari, dan setelah sadar lagi berkelahi lagi bersama-sama hingga terjadi kebakaran amat besar. Tak sempat mereka lari, semuanya terbakar, kecuali satu orang yang selamat.

Begitulah ceritanya sesuai yang didapat dari berbagai sumber terpercaya.

*
Orang gila yang bertanya tadi lalu mengangguk dan berlalu. Orang gila itu tak lain tak bukan adalah seorang yang selamat dari kebakaran tadi, sekaligus mantan moderator diskusi bertragedi, yang jadi gila karena depresi dan juga salah urat akibat berjam-jam menggeleng tanpa henti.***

Ada Hantu di Jembatan

Parman tinggal di sebuah desa tapi kerja di sebuah kota. Pulang balik dari desa ke kota adalah kerjanya empat hari seminggu. Di kota, kerjanya beragam , mulai dari tukang sampah, tukang angkat atau kuli panggul, sampai tukang becak dan tukang pacul. Sesekali juga tukang cukur rambut. Dia merasa hidupnya itu sebenarnya lebih kepada enak daripada tidak, condong ke bahagia dari menderita, makanya dia suka beli surat kabar. Di surat kabar banyak berita tentang kotanya dan kota-kota lain di daerahnya, berita nasional sampai berita internasional. Kebiasaannya ini ditekuni semenjak dia dikasih selembar kertas koran oleh seorang berpakaian compang camping yang misterius. Pesannya,” Bawalah lembar koran ini pulang, rebus sampai hancur dan campur dengan garam, lalu minum airnya!” Parman waktu itu tertawa. Dia hampir yakin bahwa orang yang ditemuinya itu sudah gila, tapi sewaktu dalam perjalanan pulang sore ke desa dia menyempatkan juga merebus dan meminum air koran itu di tempat kosnya. “Siapa tahu enak,” pikirnya. Pas setelah meminumnya, dia merasa energinya bertambah, semangat hidupnya jadi meningkat, dan pemandangannya mendadak cerah. Tapi, mulanya dia tidak mengalamatkan akibat-akibat positif itu sebagai efek substansi minuman, tapi sebagai efek dari perasaan enaknya minuman tersebut. Namun, sejak itu, dia punya kebiasaan baru, yakni suka membeli koran.
Penjual Koran langganannya sebenarnya agak heran mengapa langganannya itu sejak tiga tahun ini membeli Koran-korannya. Dia dari awal tahu bahwa Parman tidak bisa membaca dan bahkan tak pernah terlihat membuka-buka halaman-halaman koran dengan rasa tertarik. Koran dibeli, dilipat lalu dimasukkan ke dalam tas begitu saja. Suatu hari dia pernah bertanya pada Parman untuk menghindari prasangka buruk. Parman menjawab” Koran ini enak”. Penjual koran tertawa, tapi entah apa yang ditertawakannya Parman tak bertanya.

Di desa Parman ada sebuah jembatan. Jembatan beton. Dikasih nama oleh orang-orang desa: Jembatan Rakyat. Di jembatan itu ada seseorang rutin hampir tiap hari duduk-duduk di atasnya. Orangnya sudah tua. Dia juga dianggap sudah “kena“ oleh banyak orang. Saban sore dia sudah di sana, tak peduli hujan ataupun panas. Selama lebih kurang satu jam dia duduk-duduk sambil menyapa-nyapa orang-orang lewat, tertawa-tawa sendiri, melihat-lihat ke kali atau sekedar tidur-tiduran. Parman sering bicara dengannya. Artinya, Parman juga sering duduk-duduk di sana. Mereka bercakap-cakap tentang berbagai hal, mulai dari cuaca yang tidak bersahabat, tentang sawah, ladang, ayam, harimau, and so on and so forth. Sering juga Parman membawa minuman untuk mereka berdua, tidak lain dan tidak bukan minuman spesial air koran ramuan Parman. Orang tua itu paling senang dengan minuman Parman. Katanya sehari tidak minum minuman Parman membuat hati jadi